11 - Aku dan Percobaan Kedua

226 15 6
                                    

11
Aku dan Percobaan Kedua


Mari memulai lagi
Jika cinta memang benar tumbuh di antara kita
Atau semua hanya alasan
Untuk hidup layak saja
***


Mama mertuaku sudah berdiri di depan gerbang. Melihat kami pulang bersama ia tampak tersenyum semringah. Wajahnya yang sudah tampak sepuh tersenyum memandangi anak dan menantunya yang pulang dari bekerja.

Untung saja aku tidak pulang pakai taksi. Ada untungnya juga ternyata kejadian sore ini.

"Nah, berangkat pulang bersama kan enak dilihat," ucap Mama seraya bersama-sama kami memasuki rumah.

"Segera beri cucu untuk Mama," bisik Mama padaku. Ah, aku malah terkejut mendengarnya. Cucu? Tidak terpikirkan sama sekali kalau Mama menginginkannya. Aku kira kita santai saja sudah menikah dan mendaoat penghidupan yang layak.

"Aku mandi dulu ya," ucap Hilman dan beranjak ke lantai dua. Sementara aku memilih ke kamar mandi di belakang dapur untuk membersihkan diri.

"Kalian berdua belum makan kan?" tegur Mama setelah melihat aku dan Hilman hendak duduk di kursi ruang makan.

"Makanlah berdua di luar, sana! Mama susah makan tadi, sekalian beliin kue pancong buat cemilan Mama, ya!" pinta Mama tanpa perlu mendapat persetujuan kami.

Aku dan Hilman saling tatap. Benar, tidak ada makanan di rumah, seperti biasanya. Dan kami juga belum makan di luar. Aku yang mampir nge-teh saja buru-buru dipaksa pulang. Perut kami tidak bisa menipu. Tidak perlu gengsi lagi, aku memang lapar.

"Makan yuk," pintaku tanpa perlu mementingkan harga diri.

Hilman mengangguk menyetujui.

"Sudah sana, Mama nggak apa-apa sendirian di rumah, hepi-hepi sana!" Mama setengah mendorong punggung Hilman untuk segera bergegas.

"Ma ...."

Aku menghentikan langkahku saat Hilman justru berbalik dan menatap Mama.

"Sudah Ma," ucapnya pelan.

Sejenak aku mencermati apa maksud perkataannya.

"Mama tahu bukan?" Ia kembali berkata dengan tatapan serius.

Seketika ruangan yang hangat menjadi dingin. Wajah Mama terpaku seketika, senyum yang semula melebar meminta kami untuk makan bersama mendadak pudar. Berganti wajah kaku yang penuh tanya.

"Aku dan Tiara bisa bersama dan menikah karena kami memiliki perasaan dan pemikiran yang sama," tutur Hilman pelan. Ia tetap menyunggingkan senyum dan santun di depan Mama. Ia sama sekali tidak ingin menyinggung atau malah menyakiti niat baik Mama.

Wajah Mama menunduk melihat anak sulungnya berucap.

"Mama tidak perlu berusaha lagi, kami memiliki prinsip dalam hidup ini," ucap Hilman seraya mengajak Mama duduk di kursi tengah. Wajahnya tetap tak lelah menyunggingkan senyum hangat untuk sang Mama.

Kini wajah Mama justru tampak sendu, ia membuang pandangan matanya ke teras melalui jendela kaca rumah kami. Sudah sangat sore, pemandangan mulai gelap. Seperti hati Mama yang seolah turut menjadi suram.

Kali ini Mama menatapku, ia seolah bertanya apakah aku dan anak sulungnya benar-benar sama.

Aku justru bingung oleh tatapan Mama. Hendak aku jawab apa? Apakah aku juga tidak memiliku cinta? Apakah pernikahan kami adalah simbol perwujudan dari kewajiban manusia untuk menikah? Lantas, hatiku?

Aku mematung memandangi ibu dan anak yang duduk bersama di sofa. Aku seakan menjadi asing seketika.

"Mama jangan sedih, Tiara maupun Hilman tidak apa-apa. Kami sendiri yang memiliki prinsip semacam ini. Tentu kami akan keluar dan makan bersama, hanya saja. Hilman tidak mau Mama tampak terus berusaha membuat Hilman dan Tiara berduaan, karena itu tidak akan berpengaruh apa-apa."

Pria jangkung itu kembali menunjukkan kalau hatinya terbuat dari bongkahan es. Dia seolah tidak punya perasaan apa-apa tentang cinta. Lantas kenapa dia marah saat aku ikut minum teh bersama Brama? Bukankah sikapnya sangat aneh.

"Iya, Mama mengerti," jawaban Mama kini juga kaku. Ia seperti tahu bagaimana harus menanggapi sikap putranya.

"Tiara, ikut Hilman, Nak. Makan sepuasnya, tidak usah peduli pada sikapnya yang dingin." Mama mencoba tersenyum dan menepuk punggungku. Ia lantas berlalu ke kamarnya. Meninggalkan dua pasang patung yang tidak punya hati ini.

Cinta? Kenapa aku harus mencintainya kalau ia juga tidak?

Jika Hilman masih saja berprinsip seperti itu aku pun sama. Kita sama. Sama-sama es batu.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 24, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WorkaholicWhere stories live. Discover now