9 - Aku dan Jam Dinding

78 6 0
                                    

9
Aku dan Dentang Jam Dinding

Malam berlalu dengan perih
Ia pergi tak kembali
Menyisakan hening sunyi
Aku mematung sendiri
Hingga pagi
***

Berhentilah memikirkannya atau kau akan kembali mengkonsumsi obat penenang.

Sebuah kalimat yang menasihati diri sendiri. Aku tidak perlulah memperpanjang masalag kami semalam. Lagipula, si master gila kerja itu tidak akan terpengaruh oleh penjelasan yang berarti. Dia hanya berpegang pada prinsip pekerjaannya.

Pagi ini juga sama, dia pasti sudah melesat ke kantornya.

Aku menuruni anak tangga dengan cepat seperti biasa. Namun, kejutan pagi ini.

"Bangunnya yang pagi, Neng, siapin keperluan aa nya," ledek Mama mertua mengejutkanku.

Oh my God, aku lupa kalau ada Mama di sini. Bahkan aku dari tadi tidak buru-buru turun. Ini juga turun dalam posisi sudah siap ke kantor. Toh biasanya juga Hilman sudah kabur duluan.

Kejutan berikutnya adalah, pria yang membawa separuh hatiku itu sudah duduk di ruang makan. Tersenyum melihatku yang sudah bersiap. Tampaknya ia sudah tidak marah lagi masalah semalam.

"Duduk sini, sarapan," ajak Mama sembari memapahku ke kursi berhadapan dengan Hilman sementara Mama duduk di sampingku.

"Kata Hilman kalian biasa sarapan roti?" ucap Mama membuka percakapan pagi ini.

Aku hampir menjawab tidak. Karena kenyataannya kami biasanya sarapan di kantor masing-masing.

"Makanya Mama buatkan nasi uduk, buat sarapan kalian biar nggak roti mulu, ntar malah jadi bule," ledek Mama seraya tertawa.

Aku turut menahan senyum mendengar ucapan Mama. Tampak mata Hilman juga melirik ke arahku.

"Berangkatnya bareng saja, semobil, nanti pulangnya Tiara nunggu Hilman jemput, oke?" Mama kembali memberikan usulan.

Entah apakah Tuhan mengirim Mama untuk hal-hal semacam ini. Sedangkan aku maupun Hilman jelas tidak bisa menolak.

Kami akhirnya mengakhiri sarapan dan berangkat bersama sesuai perintah Mama.

"Kalau Mama sudah pulang, kita kembali seperti dulu," ucap Hilman mengejutkanku.

Jadi, ini hanya karena ada Mama.

"Aku nggak mau Mama kecewa kalau melihat kita jauh-jauhan," lanjutnya menegaskan sementara sepasang mata elang itu fokus menatap ke depan. Tak melirikku sedikit pun.

"Jadi, ini hanya akting?" tukasku mendengar pernyataannya.

"Bukankah kamu sudah tahu sejak awal?" Kali ini ia menoleh ke arahku sesaat. Menatapku dengan benar dan kembali fokus pada kemudinya.

"Maksud kamu apa?" Kali ini pertanyaanku tegas padanya.

"Ah," dia mendesah dan memiringkan separuh bibirnya. Kepalanya meboleh ke jendela mobil menatap ke luar. Kemudian kembali fokus ke kemudi.

"Kamu tidak mencintaiku?" Pertanyaan yang sepanjang bersama tidak pernah aku tanyakan. Ya, sejak awal kebersamaan kami, masa perkenalan dan pacaran yang hanya satu tahun. Kemudian menikah.

Aku dan Hilman sama sekali tidak pernah membahas cinta.

Sejak awal aku tahu, prinsip Hilman soal pernikahan. Namun, aku sama sekali tidak menyangka kalau kenyataannya dia tidak mencintaiku?

Dia tidak menjawab.

"Kamu mau bawa mobil? Biar aku naik taksi?" Kejutannya adalah pertanyaan Hilman yang menohok ulu hati. Maksudnya apa? Apakah sisa perseteruan semalam masih ia pendam? Jadi senyumnya di rumah hanya karena ada Mama?

Aku memilih diam. Jika dijawab malah akan bertambah rumit nantinya. Ia pun tak melanjutkan obrolan. Kami sama-sama diam. Hingga sampai di depan kantor tempat aku bekerja.

Mobil berhenti tepat di depan lobi gedung utama. Hilman diam tak melihat ke arahku.

"Aku turun," ucapku pelan.

Barulah pria berwajah innocent itu melihat ke arahku. Tatapannya polos tanpa dosa, seakan memang tidak ada masalah yang baru saja kami ributkan.

"Hati-hati," ucapnya seraya mengerjapkan mata pelan. Membuat kelopak matanya bergerak menutup dna membuka beberapa detik.

Aku mengangguk dan meninggalkan senyum untuknya meski ribuan tanya akan tetap berjubel di otakku menantikan jawabannya.

Seolah jam dinding yang jarumnya tak berhenti berputar. Begitu pula tanya di pikiran ini. Bagaimana aku tidak mengerti siapa suamiku ini, bagaimana sikapnya, apakah aku dan dia memang terlalu jauh? Atau kami menghilangkan waktu pendekatan yang seharusnya digunakan untuk saling mengenal?

Lantas bagaimana bisa kami memutuskan menikah jika ternyata banyak hal yang tidakaku mengerti darinya?

Ia suamiku, tapi aku merasa masih saja seperti orang asing baginya.

***

Hai halo
Semangat lah Puing

Untuk Tiara dan Hilman
Dan hubungan mereka yang membeku bak es di kutub

❤❤❤❤

WorkaholicWhere stories live. Discover now