4 - Aku dan Kekacauan

96 10 3
                                    

4
Aku dan Kekacauan

Ada sebaik tanya, tapi ku simpan dalam
Ada sebaik sapa, tapi ku abaikan
Atau ... memang aku telah membisu?

***

Pagi yang sibuk. Selepas Hilman berangkat, aku justru harus mendapat banyak tugas dari direktur utamaku. Cepat-cepat aku mengemudikan Brio untung saja bodinya yang ramping membuat jalannya bisa lebih gesit. Sampai di depan gedung perkantoran yang menjulang, aku memarkirkan mobilku di basement.

Masih juga buru-buru, setengah berlari aku membawa seabrek kertas yang dimasukkan dalam kardus. Berbagai file proposal ini harus dipresentasikan dengan maksimal.

Segenap ilmu marketing dan pengetahuan tanaman yang kupelajari di  Agribisnis Universitas Brawijaya akan kembali harus kutunjukkan hari ini.

Ayolah, Tiara kau bisa bersikap tenang untuk mepresentasikan semua ini.

Sampai di depan elevator. Aku menahan napas sejenak dan mengembuskannya perlahan membuang sikap gugupku yang sudah terasa sejak tadi pagi. Sebenarnya ini bukan presentasu pertamaku. Justru karena teknik lobyingku selalu berhasil menggaet konsumen baru aku akhirnya menempati posisi sebagai manajer pemasaran ini.

Pak Brama, direktur utama di Perusahaan Teh Semugih ini mendukungku untuk mengembangkan pemasaran teh semugih di Bandung. Dan ... berhasil. Meskipun, Semugih bukan asli Bandung tapi teh nikmat ini sanggup bersaing di pasaran. Bahkan bisa masuk ke resto-resto mewah di kota Bunga ini.

"Ayolah, kenapa terlambat?" Dewa salah satu timku menegur.

"Maaf, aku mempersiapkan keberangkatan suamiku dulu," jawabku yang sebenarnya tidak perlu. Alasan seperti itu justru akan membuat spekulasi-spekulasi baru saja.

"Kau menyiapkan keberangkatan suamimu dalam memenangkan tender utamanya, dan membuat perusahaan kita kalah," cetus Angela tanpa basa-basi.

Hish!

Aku mendelik ke arahnya. "Jangan bicara sembarangan!" tegurku pada salah satu timku itu. Coba saja dia bukan anggota tim utama sudah kucoret dia dari tim pemasaran perusahaan ini. Dia memang kalau menyindir suka kebangetan.

"Sudah-sudah! Ayo ke ruang pertemuan, tiga puluh menit lagi mereka akan tiba," ucap Dewa mengingatkan kami.

Aku tidak jadi mempermasalahkan sindiran Angela dan kembali fokus mempersiapkan presentasi. Tim utama kami hanya bertiga. Angela yang membuat visual presentasinya dan Dewa yang menyiapkan peralatan. Kami bertiga segera menuju ruang pertemuan dengan tergesa.

Namun, setengah jam sudah berlalu. Perwakilan dari Restoran Halio Timur tidak datang. Aku sudah berusaha menghubungi Pak Brama, tapi juga tidak dijawab.

"Bagaimana ini?" Angela mulai memperlihatkan wajah gelisah. Sementara aku dan Dewa saling tatap penuh tanya.

Tidak berapa lama tampak dari dinding kaca langkah cepat Pak Brama beserta sekretarisnya. Wajahnya tampak suram. Aku, Angela, dan Dewa mendekat. Ada warna kelabu di waktu ini. Sepertinya kabar yang cukup membuat mendung di wajah Pak Brama kurang baik untuk kita dengar.

"Gagal!" Pak Brama berseru di hadapan kami bertiga. Ia melempar tubuhnya di atas kursi putar dan memegangi keningnya. Tubuhnya yang kurus dengan keriput di wajah menandkaan dia sudah lelah dengan pekerjaannya. Namun, guratan di pelipis mengartikan kalau ia tidak mau berhenti berpikir. Bahkan sorot matanya yang tajam masih saja menyjmpan ambisi memperjuangkan perusahan yang ia rintis dari nol ini.

"Ada apa?" Aku berbisik pada Yulia, sekretaris Pak Bram.

Yulia mengangkat kedua tangannya. Ia tahu tapi tidak mau memberi tahu. Sampai Pak Brama sendiri yang menyampaikannya.

WorkaholicWhere stories live. Discover now