5 - Aku dan Introspeksi

66 8 3
                                    

5
Aku dan Introspeksi

Salahkah aku?
Jika aku diam lantaran ia juga sama
Jika aku abai jika ia juga lakukan
Jika aku menemukan ketenangan saat dua hal itu ku lakukan
Menyepi sendiri, sama seperti ia asik dengan dunianya

***

Komunikasi? Shit! Aku dibilang kurang komunikasi dengan Hilman? Ya! Benar sekali, dan aku juga enggan untuk memulai komunikasi itu. Ruang hampa sudah tercipta dalam biduk rumah tangga kami. Apa itu komunikasi? Bahkan sekedar bersapa pun kadang terlupakan.

Pernah aku pulang sore itu dari penatnya dunia pekerjaan. Suara lonceng di pintu samping berbunyi nyaring. Siapa saja di dalam rumah seharusnya mendengar lengkingan lonceng yang ku pasang itu. Namun, seseorang justru duduk diam di ruang tengah. Fokus pada layar laptop di depannya. Dia bergeming bak ada di sebuah kapsul khusus yang menjaga privasinya tidak bisa melihat dan mendengar apa saja kekacauan di luar kapsul itu.

Aku sengaja melewatinya sembari meletakkan barang-barang bawaanku. Kebetulan saat itu aku sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa keperluan rumah. Namun, nihil. Lelaki berwajah perpaduan sunda oriental itu justru diam saja. Aku juga menuang air di gelas, duduk tak jauh dari tempatnya untuk minum. Hasilnya, nol besar. Pria itu bahkan tidak melirikku sama sekali. Seakan aku hanya angin yang berembus saja. Tidak perlu ia tengok wujudnya.

Kejadian itu berlangsung tidak sekali. Jika ia sedang dalam fokus di pekerjaannya aku beri bonus satu juta untuk siapa saja yang berhasil memanggilnya. Dijamin, dia tidak akan menengok untuk sekali panggil. Perlu aku mendekat dan menepuk punggungnya. Itu kalau aku sedang dalam keadaan stabil. Seringnya aku justru marah sendiri.

Dua bulan yang lalu aku sempat ke Psikiater untuk memeriksakan kemarahanku yang selalu meluap-luap oleh sikapnya. Aku tahu, harusnya bukan aku yang periksa, tapi dia. Hanya saja, biarlah aku yang mengalah daripada aku yang menderita karena selalu marah tiap kali ia abaikan.

Hasilnya? Aku tidak mendapat obat apapun. Hanya nasihat untuk menerima keadaannya. Dan beginilah cara aku menerima keadaannya. Dengan bersikap sama seperti yang ia lakukan. Lantas, aku salah karena kurang komunikasi?

Oh sungguh! Jangan menyalahkan siapapun jika kau tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Bahkan untuk mencemburuinya saja aku enggan bertanya. Biar saja! Aku sudah lelah dengan sepuluh pertanyaan yang kemudian dia jawab dengan gumaman saja. Atau jawaban pendek ya atau tidak.

Sesekali memang dia tampak bersikap baik. Meminta sesuatu, atau melaporkan akan melakukan sesuatu. Namun, itu juga seakan sebuah laporan wajib saja. Dia lebih sering tidak mendengar jawabanku.

Kemarin saja saat hendak ke Jakarta, ia menelepon. Namun aku belum menjawab apa-apa dia sudah buru-buru mematikan sambungan teleponnya. Ah, memikirkan semua hal semacam itu hanya akan membuat aku emosi. Dan emosi justru membuat kesehatanku memburuk. Aku tidak mau. Aku harus tetap kuat, sehat, untuk melaksanakan apa saja yang aku inginkan.

"Hei, kenapa melamun," tegur Sena salah satu teman dekatku di kantor ini. Ia berada di devisi umum, sementara aku di pemasaran. Kami kenal karena dia teman kuliah Hilman.

"Presentasimu lancar?" tanya Sena seraya duduk di depanku. Jam makan siang sering kami gunakan untuk mengobrol di kantin kantor ini.

"Gagal," jawabku pendek.

"Nggak mungkin! Sejak kapan Tiara Septa gagal presentasi?" Ia memujiku seolah aku super power di bidang pemasaran.

"Gagal sebelum dipresentasikan," jawabku seraya memamerkan senyum kekecewaan ini.

WorkaholicWhere stories live. Discover now