[02]

11.7K 979 32
                                        


Diruangan besar itu hanya ada keheningan, Renjun masih memproses maksud ucapan papahnya. Calon istri katanya?

Renjun melihat ke sekitar untuk mengembalikan pikiran jernihnya, handuk yang tadinya ada di kepala sekarang sudah bertengger di pundak Renjun.

Mata Renjun tertuju pada wine yang ada dimeja makan, 'sial, bahkan mereka minum minuman itu?'

Pikiran Renjun sudah kemana-mana, apa papanya akan berbuat kotor sehabis ini dengan wanita itu? Renjun tidak tau pasti, tapi.

Renjun mengusap wajahnya kasar "seriusan, ini bahkan belum ada dua bulan sejak kepergian mama–kalian ada main dibelakang mama?"

Kalimat terakhir Renjun tetap menjaga bahasanya walau nadanya agak ditinggikan, ia sudah cukup sabar dengan papanya.

Gamparan mendarat dipipi Renjun, tidak begitu sakit mengingat ini bukan yang pertama dari papanya. Tapi rasa malu karena diperlakukan seperti ini di depan orang asing bagi Renjun, membuat Renjun ingin mengumpat namun masih ia tahan karena tak ingin dirinya makin dipermalukan. Bukan begitu cara mainnya.

Dalam hati Renjun mengumpati dirinya sendiri karena menolak ajakan Jaemin menonton pertandingan basket, bisa saja Jaemin mengajak Renjun menginap sesudahnya seperti sebelumnya. Ah, setidaknya ia tak ingin tau fakta ini sekarang!

Nafas Renjun tidak stabil, ia mengambil gelas yang digunakan oleh papanya. Dipecahkan gelas tersebut, ia menatap benci papanya kemudian mengambil potongan kaca yang masih dapat ia genggam. Jangan tanya hal gila apa yang Renjun akan lakukan. Renjun menggenggam kuat kaca tersebut sampai wanita yang dari tadi hanya diam berdiri ditepi meja makan akhirnya menghampiri Renjun karena tak ada pergerakan sama sekali dari papanya. Memang papanya peduli apa?

"Renjun, lepasin!" Wanita tersebut memegang pundak Renjun, mengusap lembut guna meredakan emosi Renjun.

Renjun akhirnya melepaskan beda tajam itu, bukan karena ia kesakitan. Bahkan tadi ia tak merasa sakit ditangannya sama sekali. Renjun beralih memegangi kepalanya yang sekarang terasa makin pusing padahal tadi sudah membaik.

Bumi terlihat berputar, tolong katakan pada Renjun ini hanya mimpi–dalam hati Renjun mengumpati dirinya sendiri, ia tak boleh terlihat lemah. Renjun menarik nafas dalam, kenapa juga ia bisa menangis.

"Setelah ninggalin mama–apa ngga bisa setidaknya jangan ninggalin Renjun juga pah? Mama selalu nemenin papa di setiap kondisi, bahkan saat papa susah. Tapi papa bahkan gak membalas ketulusan mama–hanya dengan nemenin mama saat sakit itu udah bikin mama bahagia pah. Sucks"

Renjun berlari keluar dari rumah ini, berlari melawan angin yang selalu menjadi temannya. Renjun mengusap wajahnya kasar agar orang-orang tidak menyadari dia sedang menangis. Sekarang ia ada di luar daerah perumahannya, ditrotoar jalan raya yang cukup ramai orang lalu lalang.

"Ugh," Renjun berlutut memegangi kepalanya.

Tidak sedikit orang yang menghampirinya dan menanyakan kondisi Renjun, namun telingannya mendadak tuli.

"Dek kenapa dek? Pak sini pak–tolong pak!"

Wanita didepannya memanggil kumpulan pria yang sedang nongkrong di warung pinggir jalan, takut terjadi apa-apa ia tidak bisa membantu sendirian.

Sial. Renjun meringis kala badannya terhempas ke belakang menghantam aspal, ia pingsan namun samar-samar masih bisa mendengarkan langkah kaki orang disekitarnya sampai ada seseorang yang mengangkat tubuhnya. Apa ia benar-benar akan menyusul mamanya?

[ Let Me In ]

Dilihat dari sisi lain, saat tadi Renjun tengah sibuk mengeluarkan isi hatinya seseorang mengintip dari arah masuk ruang makan kediaman Pratama. Pria itu tak ada niatan mencampuri sesuatu yang bukan urusannya, hanya diam mengamati.

Let Me In | JaerenWhere stories live. Discover now