2. Soto andalan, untuk adik tersayang

194 167 318
                                    

Hari sudah menggelap, motor matic yang Candra kendarai melenggang pergi meninggalkan jalan Veteran, beserta tawa hangat sore tadi di warung mang Engkus. Tujuannya kini adalah rumah.

Sebelum pulang Candra menepi sebentar ke salah satu warung kaki lima dengan spanduk kain bertuliskan soto ayam dengan huruf kapital. Soto favorit Cakra adiknya.

Dulu saat Bapak masih di Bandung belum pergi merantau, Bapak pernah bilang,

"Manusia itu cuman bisa beradaptasi dengan lingkungan yang memang sudah membuat mereka nyaman. Sama kayak soto ayam di perempatan jalan Sunda. Cakra juga udah nyaman sama rasa soto gurih dan asam di sana. Kadang kalau soto di tempat lain, dia gak mau makan."

Ucapan Bapak kala itu menjadi pengingat tersendiri untuk Candra. Setiap ada kesempatan, Candra akan menepi untuk membelikan oleh-oleh untuk adik tunggalnya.

Dalam keresek hitam di dalamnya ada tiga porsi soto ayam. Satu untuk Cakra dan dua lagi untuk Ateu Riska dan keluarga. Tante yang menemani mereka tinggal di bandung.

Candra kembali menaiki motornya, meninggalkan warung soto ayam untuk bergegas pulang.

Selintas ingatan tentang senyum manis Ayya, si gadis tadi sore, mampu membuat Candra terpikat. Walaupun gadis itu cukup kaku, tapi senyumnya membuat jantungnya berdegup kencang.

Tapi siapa dia? Selama Candra nongkrong di warung mang Engkus, baru kali ini dia melihat gadis secantik Ayya.

Besok harus tanya-tanya nih ke mang Engkus! Pikirnya, di sela-sela perjalanan pulangnya.

•○•

"Assalamu'alaikum!" Sahutnya sambil membuka pintu depan.

"Wa'alaikumssalam!" Cakra berteriak menjawab, terdengar suara air mengalir dari arah dapur.

Laki-laki itu menghadap wastafel, tengah mencuci piring. Candra menyimpan keresek hitam berisikan tiga bungkus soto panas di atas meja makan. Langkahnya mengarah ke arah kulkas, mengambil segelas air dingin.

"Tumben cuci piringnya malem-malem?"

Kata Bapak mereka harus mandiri, jadi semua pekerjaan rumah harus terbagi rata. Walaupun ada Ateu Riska, tetap saja katanya. Ateu Riska hanya membantu memasak untuk mereka makan, sisanya Candra dan Cakra yang melakukan tugas rumah.

Cakra bertugas menyapu dan cuci piring, seperti malam ini. Lalu Candra kebagian cuci baju dan ngepel lantai rumah. Pembagian pekerjaan rumah dibagi oleh Bapak, otomatis mereka harus nurut tanpa harus adu mulut.

"Nanti malem mau begadang nonton bola, paginya pasti kesiangan. Jadi cuci piringnya sekarang." Katanya masih bergelut dengan busa sunlight di tangannya.

Candra menggut-manggut lalu kembali bersuara, "Tumben tapi adek gue mau begadang nonton bola, kesambet apa lo?"

Cakra yang masih fokus cuci piring membuang napas kasar. "Gini-gini gue juga laki bang, demen sama bola." Katanya.

"Yaelah, waktu bocah aja maennya boneka sama si Kamila." Ledek Candra, meminum kembali sisa air dalam gelasnya.

Cakra menatap abangnya tajam. "Gausah di bahas! Jaman jahiliyah gue itu!" Ucapnya sebal. Membuat Candra tergelak.

Di lingkungan rumahnya, Cakra cuman punya beberapa teman sebayanya, itupun kebanyak perempuan. Kalau mau main bola bareng anak laki-laki lainnya, Cakra harus pergi ke gang sebelah untuk ikut nimbrung main dengan anak-anak di sana.

Perjalanan Untuk Melupakan | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang