Kupikir Raja akan membawaku ke Mal, lalu memasuki toko buku dan memilah alat lukis. Nyatanya perjalanan kami cukup jauh dan berakhir pada toko alat tulis Prapatan di dekat Halte Jatinegara.

"Di sini lengkap, lebih murah pula," katanya seolah menjawab pertanyaan di benakku. Raja melangkah masuk terlebih dahulu, meninggalkan aku yang masih memperhatikan jalanan sekitar.

Tempat ini, lebih tua dari yang kubayangkan. Bahkan bentuk bangunannya terkesan kuno.

Menyusul Raja, aku menemukan berbagai warna yang menyapa penglihatanku. Berbagai macam alat tulis tersedia di sini dan warnanya seolah membiusku. Menakjubkan, seperti melihat pelangi dalam bentuk berbeda.

Maka aku berputar-putar menyusuri toko dan menemukan deretan buku-buku agenda dan jurnal. Papa punya buku yang seperti ini untuk mencatat berbagai macam jadwal penting. Padahal teknologi sudah mulai maju, bisa menjadwalkan segalau sesuatu di smartphone, bisa menulis berbagai macam curhatan di sosial media.

Atau hal-hal seperti ini hanya dilakukan oleh orang dewasa seperti papaku?

Karena tidak tahan, aku memilih satu yang menarik perhatianku. Setelah ini aku akan kuliah, jadi aku akan membutuhkan agenda seperti ini.

Kubalik agenda itu untuk melihat harganya. Oh s**t, mahal. Tadinya aku mau beli dua, untukku dan untuk Diandra sebagai hadiah kelulusan.

Nanti saja, bahkan pengumuman kelulusan belum keluar.

Kuletakkan kembali bukunya sebelum melangkah mendekati Raja. Aku harus menjaga uangku sekecil apapun nominalnya, untuk mendaftar ujian.

Raja dan aku keluar dari toko itu sembari menenteng plastik putih sedang berisi alat lukis. Kali ini matahari tidak seterik tadi. Baru kusadari saat mengecek ponsel, Raja menghabiskan waktu lama di dalam toko tadi.

"Sesuai janji, kalo ada tukang mi ayam, bilang ya," pinta Raja saat menyalakan mesin motor. Aku mengedikkan bahu, kupikir dia punya rekomendasi tukang mi ayam yang menjual rasa paling enak.

"Kalau mau makan yang lain, boleh?"

"Asal lo tau diri aja," timpal Raja. "Tanggal tua nih."

Tiba-tiba aku teringat mi ayam Bu Esti langganan Diandra dan Ecan di sekolahku. Sudah lama aku tidak makan itu sejak menghemat uang saku. Masih buka tidak ya, jam segini?

"Ja, mi ayam Bu Esti di depan sekolah gue, mau enggak?"

***

Suasana di sekolah terasa sepi. Aku mengedarkan pandangan dari kios Bu Esti, mengingat pertama kali aku melewati gerbang sekolah bersama Diandra. Saat itu kami masih mengenakan seragam biru kotak-kotak dari SMP, dengan rambut dikucir dua menggunakan pita warna-warni.

Ingatan itu rasanya masih terpatri jelas di benakku, rasanya seperti baru kemarin.

"Biasanya sama temennya, sekarang sama pacar ya, Neng?" Bu Esti menyapaku saat menyajikan mi ayam. "Daritadi merhatiin, kayaknya kok kenal sama neng-nya."

Aku membalasnya dengan senyum tipis. "Iya Bu, lagi pulang kampung si Diandra."

Aku tidak perlu menimpali tentang pacar, kan? Untuk apa? Mau bagaimanapun, Raja memang bukan pacarku. Lagi pula, dia juga tidak mempermasalahkan hal itu.

Bicara soal Diandra, sejak malam pengumuman, dia belum menghubungiku. Mungkin dia betulan sibuk, atau mungkin ada alasan mengapa dia tidak menghubungiku. Tetapi bukannya dia seharusnya bertanya tentang kabarku? Biasanya Diandra selalu kepo, bagaimana hasil ujianku, bagaimana nilaiku, biasanya Diandra akan menghubungiku terlebih dahulu.

"Masih mikirin SNMPTN?" tanya Raja, membuyarkan balon lamunanku.

Aku mengangguk-angguk sembari memainkan sumpit. "Setiap gue bangun tidur, gue selalu mikir kalau malam itu mimpi buruk."

"Gue tau lo sedih banget," Raja menepuk-nepuk pundakku. "Tapi life must go on. Katanya, kalau lo ngerasa dunia lo runtuh, sebenarnya yang runtuh itu cuma ekspektasi lo."

Kedua mataku menerawang kembali pada pagar sekolah. "Kalau gue gak bisa memenuhi ekspektasi gue sendiri, hidup gue gagal dong?"

"Gagal itu wajar, kan?" Raja menimpali. "Banyak orang hebat yang diawali oleh kegagalan. JK Rowling, misalnya. Sebelum berhasil nerbitin Harry Potter yang super duper best seller itu, dia gagal berkali-kali dulu, kan?"

Kemudian ia melanjutkan. "Emang menurut lo, hidup itu untuk apa sih? Untuk menggapai apa?" Raja tampak mencibir, membuatku agak jengkel. "Apa yang lo kejar di dunia? Kesuksesan?"

"Masa depan yang cerah."

"Masa depan lo belom tentu suram cuma karena lo enggak lolos SNMPTN, Sahara. Masa depan lo belom tentu suram juga karena bokap lo ketangkep."

Sepasang mata milik Raja tampak tenang, berbeda denganku yang merasa dihakimi.

"Enggak lolos SNMPTN kan, bisa nyoba SBMPTN, bisa ikut ujian mandiri--"

"Enggak ada biaya untuk itu," aku menyela kalimatnya. "Lo tau sendiri keadaan keluarga gue sekarang."

Sepasang alis milik Raja lantas bertautan. "Terus? lo juga bisa gapyear buat belajar tahun depan. Banyak Ra, yang bisa lo lakuin."

"Kalau gue gapyear, gue bakal kalah dari anak-anak lain. Nanti mereka udah lulus, gue masih sibuk kuliah," sanggahku dengan nada malas. Apa kata mereka nanti, aku yang paling pintar di kelas kalah sama mereka yang nilainya di bawahku?

"Emangnya hidup itu pertandingan?" Dari nadanya Raja tidak terdengar sewot, datar, bahkan ia mengulum senyum tipis. Namun entah mengapa terasa seperti menyindirku.

Tentu saja. Semua orang berlomba untuk menjadi pemenang dan sukses, kan?

"Lo ya elo, orang lain ya orang lain. Semuanya punya waktu masing-masing, kali."

***

Time-LagWhere stories live. Discover now