15

79 17 6
                                    

Selamat membaca, Crazy Rich Squad👑

👑👑👑

Fey tidak tahu jika berdiri di depan sebuah bangunan megah yang dulu sempat dia sebut sebagai rumah terasa sangat asing seperti ini. Apalagi warna cat rumah yang dulunya berwarna putih, warna kesukaannya kini berganti menjadi warna merah muda yang sama sekali bukan warna kesukaannya. Sebuah kursi taman yang seharusnya terlihat saat melewati gerbang rumah, kini tidak ada lagi. Tergantikan dengan sebuah mainan jungkat-jungkit yang dicat pelangi.

Semuanya terasa berbeda. Hanya satu hal yang sama. Pemandangan seorang perempuan yang usianya dipertengahan angka 50-an datang dengan langkah tergopoh-gopoh untuk menyambutnya. Saat tersisa satu langkah jarak antara dirinya dan Fey, perempuan itu lantas membawa Fey ke dalam pelukannya. Menyalurkan rasa rindunya bersamaan dengan suara tangis yang terdengar sangat lirih.

"Bibi apa kabar?" Fey bertanya sembari tangannya menepuk punggung perempuan yang dia panggil, "Bibi" itu.

Bibi tidak segera menjawab. Dia melepaskan pelukannya terlebih dahulu baru menjawab, "Bibi baik-baik aja, Non. Non Fey sendiri apa kabar? Kok jadi makin kurus begini?"

Fey tersenyum. Dia mengambil tangan bibi untuk dia rangkum. "Kabar Fey selalu baik, Bi. Sekarang Fey kan harus pemotretan terus. Jadi Fey harus jaga pola makan dong."

"Kalau Non Fey masih tinggal di sini, bibi pasti paksa Non Fey buat tetap makan banyak, kayak dulu."

Kali ini, Fey tidak menjawab lagi. Dia cuma bisa tersenyum tipis. Lidahnya seolah beku saat kata 'dulu' terucap. Entah sihir apa yang dimiliki satu kata itu, tetapi Fey selalu tidak punya alasan untuk membuka bibirnya. Mungkin karena banyakanya kenangan dibalik kata tersebut, sehingga membuat Fey hanya mampu menerbitkan senyum tipis alih-alih membuka kedua bibirnya yang bisa saja mengeluarkan suara isak tangis.

"Ini siapa, Non? Pacar Non Fey? Kok udah berani pacaran sekarang?" Bibi menuntut jawaban.

Fey mengalihkan pandangannya ke samping, baru menyadari kalau dia tidak datang sendiri. Ada Dave yang menemaninya.

"Dia Dave, Bi. Sahabatnya Fey."

Dave mengulurkan tangan, berjabatan dengan bibi sembari membungkukkan badannya, hormat. "Saya Dave, Bu. Senang bertemu dengan Ibu."

"Haduh, Den, enggak perlu panggil ibu. Panggil bibi aja. Kan Den Dave sahabatnya Non Fey." Bibi beralih menatap Fey lagi kemudian menggandengnya. "Ayo masuk, Non, Den. Tuan sama Nyonya ada di dalam," ajaknya.

Selangkah demi selangkah kaki Fey membawanya masuk ke dalam rumah ini diiringi dengan kalimat-kalimat penyemangat di dalam batinnya. Dia harus bisa. Mau sampai kapan dia menghindar memangnya? Semua sudah masa lalu, bukan? Mimi dan dirinya sudah hidup bahagia meskipun tanpa kehadiran seorang pipi. Seharusnya semua sudah baik-baik saja, kan?

"Lho Fey?"

Suara sapaan itu secara otomatis membuat kaki Fey terdiam. Seperti ada sebuah beban berat yang tidak mengizinkannya untuk melanjutkan langkah.

"Apa kabar?" tanya perempuan yang menyapa Fey tadi, menghampiri Fey yang mematung. "Ada Dave juga?"

"Halo, Tante. Apa kabar?"

"Kabar Tante baik. Kamu gimana kabarnya?"

"Baik juga, Tan."

"Oh iya, kalian duduk dulu."

Dave menuntun Fey dengan menggenggam tangannya untuk duduk di salah satu sofa ruang tamu. Sementara bibi undur diri, hendak membuatkan minum untuk Fey dan Dave.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang