Anak Bawang

13 0 0
                                    


Sabtu malam, lepas Maghrib Yasir sudah mengendari motor bebek inventaris dari Pak Atmaja menuju perumahan Dieng Indah, Sukun. Sampai gerbang rumah besar dengan taman yang tertata rapi, Yasir disambut Pak Herman, sopir yang biasa mengambil belanjaan ke pasar Mergan. Dia agak kaget ketika membuka gerbang dan mendapati Yasir yang memencet bel.

"Loh Mas Yasir, dingaren Mas?".

"Enggih Pak, mau ketemu Fany".

"Oh, monggo-monggo", Pak Herman sudah tahu bahwa Ysir dan Fany satu kampus, jadi tidak banyak tanya. Pak Herman yang aseli Solo memilki aksen bicara halus dan selalu menggunakan basa kromo dalam berbicara dengan Yasir. Yasir pernah menyampaikan agar pakai bahasa biasa aja alias ngoko, tapi Pak Herman tetap saja dengan kromonya, meski dia tahu Yasir hanya pegawai di toko Atmaja, tapi sikap dan penghormatan Yasir kepada orang yang lebih tua justeru membuat dia menghormati balik.

Setelah memarkir motor, Yasir bergeas ke teras rumah besar dengan penataan taman yang rapi, bahkan ada kursi taman dan kolam mini dengan air terjun buatan mengeluarkan suara gemericik. Di teras, nampak Pak Prawira sedang membaca koran sore, meski sesekali ketemu pemilik Prawira Resto group itu, Yasir langsung mengenali.

"Assalamu'alaikum Pak Prawira", Yasir menyapa. "Saya Yasir pak, pegawai Pak Atmaja". Yasir melanjutkan karena melihat Pak Prawira yang nampak bimbang dengan kehadirannya.

"Oh iya ya, Yasir, Atmaja beberapa kali cerita tentang kamu, ayok duduk. Ada perlu apa nih Sir, apa ada bawang yang belum dibayar?".

"Mboten Pak, saya mau ketemu Fany, kami satu kampus".

"Oh ngono tah, kok Fany ra tau crito". Memang Atamaja pernah cerita tentang salah satu pegawainya yang nyambi kuliah, tapi dia tidak menyangka kalo kenal bahkan kemungkinan dekat dengan anak gadisnya. "Kate nang ndi Sir?". Prawira kembali bertanya, dia menebak Yasir akan menjemput Fany pergi ke suatu tempat, karena melihat anak gadisnya tadi nampak berdandan, tidak seperti biasanya.

"Fany minta diantar ke Pulo Sari, katanya mau ketemu teman-temannya, sekalian saya mohon ijin sama Bapak, untuk pergi mengantar Fany".

Berani juga nih anak, batin Prawira. "Fany, ini ada yang nyari", teriaknya kemudian.

Tak lama, pintu rumah terbuka dan Fany keluar dengan helm di tangan. Setelan jaket dan celana jeans dipadu kaos putih nampak pas membalut tubuh langsing itu. Tomboy tapi cantik.

"Ayo Yes, aku udah siap dari tadi", kata Fany

Yasir buru-buru mengalihkan pandangan ke pak Prawira, seolah meminta persetujuan untuk pergi bareng Fany.

"Jangan malam-malam pulangnya" Kata Prawira kemudian.

"Enggih Pak", Yasir bangkit menyalami pria tua yang masih nampak gagah itu.

"Fany pergi dulu pah", Fany menyusul menyalami dan mencium punggung tangan bapaknya.

"Kamu tidak malu naik motorku Fay?", kata Yasir Sesampai di halaman dimana terparkir motor bebek 125cc dengan kondisi cukup kumal, motor inventaris pengangkut bawang.

"Enggak Yes", Kata Fany yang langsung duduk memboceng ketika Yasir sudah menghidupkan mesin. Sebenarnya Fany ingin menawarkan memakai motor sportnya, tapi karena yakin Yasir akan menolak, maka Fany mengurungkan niatnya. Dia tahu, Yasir justeru lebih percaya diri dengan apa yang dia punya, meski pada kenyataannya, motor bebek ini bukan miliknya, tapi inventaris.

"Motor ini nggak bisa ngebut Fay, jadi kamu tidak perlu takut terlempar", Kata Yasir, karena begitu masuk jalan besar, Fany memeluk Yasir, yang membuat dia agak risi. Hal tersebut juga membuat debaran berbeda pada jantungnya, seolah memacu detaknya semakin cepat.

TRUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang