09. Badai

1.7K 326 14
                                    

#Day10
#Buhul

***


Jeno mendesis saat layar monitor komputer bergerak lambat. Mungkin karena tidak ada sambungan internet di sana.

"Bisa lebih cepat tidak?" Renjun tidak henti-hentinya berbicara, membuat Jeno hampir frustasi.

Suara guntur kembali terdengar, cuaca semakin memburuk. Angin kencang berhembus menumbangkan beberapa pohon.

Tidak lama, layar monitor komputer menampilkan grafik membingungkan tentang cuaca. Jeno dengan cepat menarikan jari-jarinya di atas keyboard.

Matanya bergerak membaca laporan cuaca yang terpampang di layar komputer. Sama sekali tidak memperdulikan angin kencang serta petir yang menggelegar.

"Benar dugaanku." Jeno mengakhiri aktivitasnya, menatap Huang Renjun yang berdiri tepat di belakangnya.

"Akan ada badai malam ini. Evakuasi semua warga di tempat yang aman. Bila ada, evakuasi mereka semua di dalam goa." Jeno menatap Renjun serius, aura Harimau Timur terpancar jelas di matanya.

"Aku pergi." Renjun keluar dari pesawat begitu saja, menghilang di balik angin.

Jeno sama sekali tidak menghentikan Renjun. Sekarang, dia harus bisa membawa pesawat itu menembus awan hitam untuk sampai di Pusat Kota.

Jeno menghembuskan napas kasar, dia harus bisa! Tangannya mulai bergerak menyalakan mesin pesawat. Menepikan seluruh kekhawatiran atas kosekuensi yang mungkin saja terjadi. Sekarang, nyawa semua orang dalam bahaya.

***

Kabut di dalam Kastil mulai menipis. Haechan menoleh memastikan apakah pisau-pisau itu masih berterbangan atau tidak. Tapi yang dia dapati, adalah tubuh Ayahnya yang tergeletak pingsan di tengah ruangan.

Ibunya, Ten Seo berlari masuk bersama beberapa orang untuk menyelamatkan sang Alpha. Haechan menghempaskan tangan Jisung dengan kasar, sekarang fokusnya hanya pada sang Ayah.

Haechan masuk ke dalam, napasnya memburu melihat keadaan Ayahnya yang jauh dari kata baik-baik saja. Banyak darah mengalir dari luka gores di sekujur tubuh Alpha mereka.

Orang-orang mulai mengangkat sang Pemimpin. Diikuti oleh Ten Seo, mereka berjalan keluar. Meninggalkan Seo Haechan yang masih berdiam diri, menatap genangan darah dari luka Ayahnya.

Tanpa sadar, tangannya terkepal erat. Napasnya semakin memburu, seolah menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan marah.

Tidak ada yang boleh menyakiti keluarganya. Tidak ada yang boleh melukai orang tuanya. - Seo Haechan.

Seseorang menepuk bahu Haechan, kemudian meremasnya seolah menandakan bahwa Haechan harus menekan emosinya. Keadaan sedang tidak baik sekarang, akan semakin buruk bila Haechan mengamuk.

"Evakuasi penduduk lebih penting. Jangan egois dan gegabah. Aku tahu bagaimana perasaan mu. Sekarang bukan waktunya untuk marah, Seo Haechan." Itu Na Jaemin, diikuti oleh Huang Renjun di belakangnya.

Perlahan, napas Haechan mulai teratur. Menekan segala emosi dan amarah. Haechan berbalik, menatap Na Jaemin dalam, kemudian mengangguk. Jaemin mengangkat sedikit sudut bibirnya.

Tidak lama, terdengar suara petir dan kepanikan penduduk semakin menjadi. "Kita tidak punya banyak waktu."

Mereka bertiga berlari keluar, mulai berpencar mengumpulkan semua orang. Sepertinya mereka semua yang berasal dari wilayah lain datang ke Pusat Kota.

[1] MISSION - NOMIN ✓Where stories live. Discover now