Kisah untuk Dinda #2

14.6K 1K 100
                                    


****

Sejak satu jam lalu, Dinda melirik jalanan kota Jakarta yang terlihat padat dengan latar belakang kanvas hitam di belakangnya sembari tidak berhenti tersenyum. Tubuhnya seolah diselubungi gelembung kehangatan dan membuat hatinya terasa penuh. Ucapan Geri masih terngiang di kepalanya. Geri bukan tipe pria romantis, bukan seperti mantan-mantannya yang suka mengajaknya dinner di kafe mahal diiringi alunan biola dan sebuah lilin berpendar menerangi mereka berdua. Itulah yang membuatnya sulit ditebak, seperti teka-teki dengan tingkat kesusahan tinggi. "Kamu tahu kenapa orang gila suka senyum dan tertawa sendiri? Karena mereka suka berhalusinasi." Dinda menoleh, mengerucutkan bibirnya sewaktu mendengar itu.

"Masa pacar sendiri dibilang gila?"

"Terus apa kalau senyum-senyum sendiri?"

"Emang nggak boleh?"

"Nggak, senyum tuh harusnya bagi-bagi, nggak boleh sendiri gitu. Udah sampe, nih." Dinda menoleh ke jendela dan melihat kendaraan sudah berhenti tepat di depan pagar rumahnya.

"Keran di toiletku rusak, benerin dong? Dari kemarin tuh, udah dua hari aku susah mandi."

Geri mendelik. "Kan minggu kemarin udah aku bagusin? Kamu pakai tenaga apa, sih, sampai sering rusak gitu." Dia geleng-geleng kepala. "Jangan-jangan kamu jelmaan manusia super, ya?" Pengalaman akan mengubah sikap manusia, Dinda yang manja berubah menjadi seorang gadis tangguh. Saking tangguhnya sampai enggan meminta pertolongan ke orang lain—suatu hal yang terkadang Geri tidak suka—setiap pria pasti senang jika dirinya merasa dibutuhkan meskipun sesederhana memperbaiki keran. Kodratnya, hereditas yang diturunkan ke laki-laki adalah memiliki sikap memimpin, senantiasa berpikir dirinya lebih berguna dan insting untuk melindungi seolah terpacu keluar.

"Iya, kelebihanku, kok bisa-bisanya jatuh cinta sama cowok kayak kamu."

"Idih?" cowok itu mengernyit, menunjukkan ekspresi bertanya-tanya, "cowok kayak kamu tuh maksudnya gimana? Yang ganteng, keren, pinter, tajir, karismatik, gitu kan maksudnya?" Geri dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata.

"Udah buruan turun, bantuin aku bagusin keran." Dinda segera melangkah keluar mobil dan masuk ke rumah. Mengambil kunci rumah dengan gantungan pisang dalam tasnya. "Assalamualaikum!" Kalau ada yang menyahut tentunya adalah sebuah keajaiban karena Dinda tinggal sendirian. Dia menghidupkan lampu.

"Perkakas-nya ada di tempat biasa, ya. Sini aku bantuin." Dinda membantu melepaskan jas milik Geri, meletakkannya di sofa. Cowok itu menggulung lengan kemeja-nya hingga ke siku, menonjolkan lekuk otot bisep-nya yang sudah terbentuk sempurna. Sementara Geri masuk ke kamar Dinda, cewek itu membaringkan tubuhnya di ranjang sembari menghidupkan lagu. Alunan lagu happy milik The Kooks memenuhi riangan.

Mereka berdua adalah anomali, seperti yin dan yang, langit dan bumi, hitam dan putih, Geri dengan kehidupannya yang serba minimalis, bersih, dan teratur. Setiap orang pasti akan memiliki titik balik kehidupan yang membuatnya berpikir untuk berubah. Sama halnya dengan Geri, kuliah selama tiga tahun di Prancis berhasil membentuk kehidupannya menjadi lebih disiplin. Tinggal bersama ayahnya, berarti dia harus mandiri dalam segala hal, menyelaraskan ritme kehidupan dengan ayahnya yang super-sibuk sekaligus otoriter, meskipun sebetulnya berhati hangat dan perhatian. Tidak ada hal sia-sia jika seseorang ingin berubah, kini Geri bukan lagi Geri, si bocah SMA yang suka bikin onar di sekolah bahkan pernah tidak naik kelas atau Geri yang suka bolos karena pelajarannya tidak sesuai dengan minat-nya. Melainkan Geri, pendiri sebuah perusahaan pengembang game yang telah mendunia, diusianya yang masih 25 tahun. Sosoknya adalah idaman wanita, dan untungnya ruang kosong dalam hatinya sudah diisi oleh seorang gadis penyuka pisang dan bunga matahari bernama Dinda.

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang