04 | 19 Mei 1999

70.4K 14K 2.2K
                                    

Happy reading... dan jangan sampai patah hati ya.
sebab Djakarta ditahun ini, butuh pemoles luka dari pedihnya ditinggalkan.

—LOSE—













Djakarta, 19 Mei 1999.






Sudah larut malam. Harusnya Awan dan Bima sudah sampai. Latifah merasa ada yang tidak beres akan hal ini. Ia berniat mendatangi para staff untuk menanyakan perihal jadwal sampainya pesawat yang di tumpangi kedua putranya. Karena ia tahu betul, hal ini tidak wajar disebut sebagai keterlambatan, kalau nyatanya pesawat sudah seharusnya sampai pada sore tadi.

"Mbak, penerbangan dari Bandar Lampung sampai di sini kapan, ya? Kok saya tunggu dari tadi sore masih juga belum mendarat?"

"Pesawat Air 1125, yang berangkat pukul 1 siang tadi, ya?" Balik bertanya.

Dengan perasaan cemas, ia menjawab, "Iya Benar, ada apa, ya?"

Staff itu terunduk penuh sesal. Sempat terdiam, namun kembali bersua setelah beberapa saat kemudian.

"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena kapten pesawat sudah lost contact dengan pihak atc sejak 40 menit setelah lepas landas. Pihak penerbangan juga sudah mengumumkan bahwa pesawat air 1125 dinyatakan hilang di daerah Banten, Ibu."

Latifah membelalak, kepalanya tiba-tiba saja pening, lututnya juga terasa bergemetar hebat. Ia membalik tubuh, dan tersungkur begitu saja.

"Ibu, ibu nggak apa-apa?!" tanya wanita itu, kemudian menghampiri Latifah lalu mensejajarkannya.

Napas Latifah terdengar sangat tidak beraturan. Namun, ia belum menangis. Ia masih berusaha membendung segala perasaan dan berusaha berpikir sejernih mungkin. Karena masih ada harapan baginya menunggu, sampai penemuan pesawat nantinya.

Namun, sama saja seperti membohongi diri sendiri, kalau rasa cemas dan khawatir sudah sepenuhnya mencabik jiwa. Ia menatap tajam ke arah staff wanita di sampingnya, kemudian meremat bahunya kencang sambil berkata,

"Anak saya belum meninggalkan?!"

"Kami belum tahu itu secara pasti. Saat ini kami usahakan untuk mencari keberadan pesawat sampai ketemu. Ibu jangan khawatir, saya akan segera menghubungi Ibu kalau sudah ada kemajuan."

"Kamu suruh saya menunggu?! Sedangkan anak-anak saya ada di pesawat itu!"

Wanita itu merintih, ketika rematan di bahunya semakin kuat. Bahkan bisa dirasakan ujung-ujung kuku Latifah yang menusuk bahunya.

"Maaf bu, tapi tolong lepaskan tangan Ibu dulu," pintanya. Latifah tidak menghiraukan, dan malah semakin memperkuat rematannya. Sampai-sampai menyebabkan timbulnya luka berdarah di bahu staff wanita itu.

"Kembalikan anak saya! Saya mau anak saya!"

Latifah bergerutu layaknya orang tak berakal sehat. Sehingga orang- orang yang melintas di dekatnya pun malah menjadikannya tontonan.

Para security pun datang dan bergerak cepat memisahkan Latifah dari staff wanita itu. Lalu menyeret Latifah menjauh agar tidak menimbulkan lagi korban lainnya.

Para security itu pun mengamankan Latifah ke sebuah ruangan. Perlu ada tindakan lebih atas kekacauan yang baru saja Latifah perbuat.

Mereka sempat menahan Latifah beberapa jam. Menjelaskan segala hal yang terjadi secara rinci, dan meminta Latifah lebih bersabar lagi menunggu info terkait dari pihak yang mengurus.

Lantas.

Dengan berat hati Latifah terpaksa mengikuti arahan yang diberikan padanya. Karena mungkin bisa saja, kedua putranya masih selamat di luar sana. Meski kecil kemungkinannya.

Setelah situasinya membaik dan suasana hati Latifah mereda, ia pun dibiarkan pulang. Dan kini, Latifah sudah separuh jalan hingga sampai ke rumah. Hanya tinggal melewati beberapa blok saja ia akan segera sampai.

Ia kembali cukup larut dengan tangan kosong. Tak ada kedua putranya di sisi. Benih-benih di matanya masih tak mau jatuh, meski pedih rasanya di hati. Lalu dari kejauhan. Dengan keadaan kalut sang Ibu melihat Latifah di ujung sana, kemudian menghampirinya. Berlari-lari seraya menangis sedu memeluk Latifah.

Latifah balik memeluk sang Ibu. Air mata yang dibendungnya tadi, kian merembes jatuh.

Hiks!

Sang Ibu sesekali mengecup pipi putri semata wayangnya itu.

"Ya Allah, kenapa putriku yang kau beri cobaan," kata Ibu. Latifah menjadi-jadi mendengar hal itu. Tangisnya semakin pecah, membasahi daster coklat yang digunakan Ibu.

"Ini salah Tifah, Bu. Harusnya Tifah nggak izinin anak -anak ketemu ayahnya! Harusnya Tifah tahan mereka untuk tetap di rumah aja. hiks!"

Ibu mengelus elus lembut punggung Latifah. Berusaha menenangkan wanita itu dari isak pilunya. Lalu berkata,

"Enggak, Nak. Ini bukan salah kamu. Memang sudah jadi jalan Tuhan begini."

Latifah tersengut. Sementara sang Ibu hanya bisa menguatkan dengan cara yang sederhana, karena tak ada hal lain yang bisa ia lakukan lagi.


















—LOSE—















Wanita paruh baya itu, berlarian menaiki anak tangga. Dia adalah seorang pengasuh yang bertugas untuk menjaga Banu adik dari Sinta Pramesta, selagi kakaknya sedang dalam tugas.

"Mas Banu!! Mas Banuu!" Teriak Bibi hingga sampai ke depan kamar Banu.

Banu membuka pintu kamarnya, menatap Bibi linglung. "Ada apa sih, Bi?" tanya Banu.

Bibi terdiam, menarik nafas panjang.

Banu kembali bertanya, "Kenapa, Bi?— Bibi mau keluar sebentar? yaudah gapapa. Tapi Banu nitip dibeliin mie ayam ya?"

"Bukan itu Mas,"

Banu mengeruti dahinya, bingung. "Terus apa?"

"Mba Sinta—"



______________





~ "Pesawat Air 1125, membawa dua kapten pilot, dan 5 awak kabin lainnya. Yaitu Kapten Adipati Surya, Cadet Anggara Adinata, Joshua Radennata, Mas Radit Widianingrat, Adinda Putri, Hasya Banurasmi dan Sinta Pramesta."

"Sejauh ini, belum ada info lebih lanjut tentang kemajuan pencarian Pesawat Air 1125 yang hilang jejak di daerah Banten." ~

Banu terhentak, menatap miris televisi cembung di hadapannya. Kedua lengannya bergemetar hebat, dan diwaktu bersamaan pula ia bertempik kencang hingga suaranya bergumam ke satu rumah.

Ia menyakiti dirinya sendiri dengan memukul mukul tempurung kepalanya menggunakan ujung kepalan tangan. Lalu menangis hebat. Berteriak tanpa henti sampai wajahnya berubah menjadi merah pekat.

Bibi memeluknya dari belakang, menahannya agar tidak lagi menyakiti dirinya sendiri.

"Udah Mas... udah ..." peringat Bibi, ikut terisak.

Baru 1 Bulan yang lalu, ia kehilangan kedua orang tuanya karena suatu kejadian naas. Dan sekarang, dunia terasa berhenti ketika pada akhirnya ia harus kehilangan satu satunya keluarga yang ia miliki.

Hidup tanpa orang tua saja sudah sangat berat baginya. Bagaimana pula kini, ia harus hidup sendirian di dunia yang kejam.

Banu masih terlalu muda untuk kehilangan semua hal yang ia miliki.





—LOSE—

1| LOSE [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu