"Nggak ada!" sela Rey keukeuh. "Nggak ada talak talakan! Rey punya Asa, dan Asa punya Rey selamanya! Asa nggak boleh ninggalin Rey!"

"Seseorang yang ingkar sama janjinya, mereka akan dihukum," kata Asa seperti sedang memperingatkan.

"Aturan dari mana?! Nggak ada aturan aturan kayak gitu! Nggak usah ngadi-ngadi ya kamu! Rey yang bakalan hukum Asa kalau Asa ninggalin Rey! Inget itu!"

Air mata Asa tidak mampu ia bendung lagi, semuanya mengalir deras hingga Asa menutup wajahnya dengan tangan berbalut lengan kemeja pasien yang kebesaran.

Rey segera mendekap Asa penuh kasih sayang, dan Asa semakin terisak dibuatnya. "Asa takut mati, Rey!"

Isakan Asa semakin menjadi-jadi, tubuhnya bahkan ikut terguncang. Sangat menyakitkan untuk Rey rasakan, pria itu mengusap-usap kepala Asa lembut.

Sepasang mata itu ikut berkaca-kaca, isakan tangis Asa yang terdengar begitu menyakitkan selalu mampu membuatnya ikut menangis.

"Asa takut. Kalau Asa pergi nanti, Rey bakalan hancur lagi kayak dulu. Lebih baik Rey benci sama Asa sebelum Asa pergi. Dengan begitu, semuanya bakalan baik-baik aja."

"Asa pengen mastiin, kalau Rey nggak akan merasa sekehilangan dulu lagi. Karena kalau sampai itu terjadi, pelampiasan luka Rey udah nggak ada."

"Asa nggak akan mati! Nggak usah ngomong yang aneh-aneh!" Rey berusaha menguatkan Asa, mencoba mengerti perasaan istrinya.

"Nggak kasian apa sama Mas Debay? Hiks." Rey mulai terisak, lebih keras dari Asanya.

"Dia mau gimana kalau besar tanpa Bunda di sisinya nanti?! Hm? Asa harus kuat, Rey nggak mau tau, Asa harus sembuh! Rey nggak bisa rawat Mas Debay sendirian! Rey butuh Asa!"

Rey menyeka jejak air matanya sendiri. "Rey juga, hiikkkssss, belum, hiikksss, unboxing Asa."

"R-rey," Asa berhenti menangis.

Rey ikut-ikutan diam. "Hm?"

Asa terkikik di sela-sela tangisnya, Rey benar-benar menjadi pelangi di setiap hujannya. Hanya saja, matahari di antara mereka seolah sedang tertutupi awan lebat. Jadi, difraksi cahaya dalam tetesan air melemah, sehingga spektrum cahayanya tidak sekuat dulu lagi.

***

"Sehat?" tanya Elvan dari sambungan telpon. "Jadi, cuma mual biasa?"

"Iya, El. Cuma gejala umum kehamilan. Kamu, kapan kasih tau Tante Acil? Kamu nggak bohong kan mau tanggungjawab?"

"Jangan sekarang, Rel. Aku masih perlu waktu buat kasih tau Mama. Enggak bohong, aku bakalan tanggungjawab."

"Tadi gimana? Pukulan Papa aku keras banget, aku pengen obatin luka kamu tapi Papa ngelarang aku."

"Maafin aku ya? Aku bikin keluarga kamu berantem." Elvan menunduk lesu mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat ia ke rumah Aurel karena Aurel ketahuan hamil.

"Enggak, El. Mama dukung aku kok, Mama udah tau kalau aku suka sama kamu dari dulu. Cuma, Papa aja yang masih nggak bisa trima. Tapi kata Mama, dia bakalan yakinin Papa kok. Jadi, kamu nggak perlu khawatir."

DASA (END)Where stories live. Discover now