32: Stop, please

143 46 5
                                    

"Gue nggak suka keramaian, apalagi dilihat banyak orang di waktu yang sama. Kepala gue selalu pusing setiap ketemu orang banyak, makanya gue juga benci pesta."

Ringgo sedikit membuka mulutnya. "Jadi, itu alesannya lo kabur di tengah pesta ulangtahun lo waktu itu, dan malah ngerokok?"

"Hah? Ngerokok?!" Kei terkejut. Ia tidak menyangka Yuga seorang perokok.

"Iya, kenapa? Apa wajah gue nggak cocok megang rokok?" tanya Yuga sedikit tersinggung. "Anehnya, kalau gue pusing karena ketemu orang banyak, pusing gue hilang setelah merokok. Jadi, ya gitu."

"Lo emang udah nyoba cara lain? Kayak minum air putih yang banyak, minum obat sakit kepala, atau makan permen mint. Udah coba?" tanya Aga serius.

"Nggak, sih. Tunggu, kenapa lo kayak marah sama gue? Karena ternyata gue perokok?" Yuga malah balik bertanya.

"Ya," jawab Aga tegas, "Lo tahu kan kalo rokok berbahaya? Lo mau cepet mati? Lo nggak kasihan sama paru-paru lo, gitu?"

Yuga cukup tercengang melihat Aga yang benar-benar marah. Nada bicaranya tidak meninggi sama sekali, malah sebaliknya. Suaranya begitu rendah dan serak, terdengar begitu dingin. "Aga, gue ngerokok cuma kalau setiap pusing ketemu banyak orang, kok! Dan, itu nggak sering."

"Kalau gitu, lo mau janji bakal berhenti merokok? Cari cara lain buat hilangin sakit kepala lo itu. Banyak hal yang lebih baik daripada merokok."

"Janji?" Yuga mengernyit. "Kenapa lo seserius ini, sih? Apa lo benci semua orang yang merokok? Kenapa lo semarah ini sama gue, hanya karena gue ternyata perokok? That's weird!"

Aga menunduk, mengepalkan tangannya dengan kuat. "Bokap gue ... meninggal satu tahun yang lalu. Kanker paru-paru, karena dia perokok sejak SMA."

"Hah?" Yuga lumayan terkejut, hingga bingung berkata-kata. Begitupula dengan Ringgo dan Kei.

"Apa alasan gue belom cukup, untuk nyuruh lo berhenti merokok?"

Yuga menggeleng, dan berjalan mendekati Aga. "Sorry, Aga."

"Jadi, lo mau berhenti atau nggak? Jawab!" suara Aga kembali meninggi, seperti biasanya.

Yuga akhirnya tersenyum dan menepuk pundak Aga. "Akan gue coba, lo tenang aja. Segitu khawatirnya ya sama gue? Jujur, gue lumayan terharu, loh."

"Dih, jangan kepedean." Aga mendengus, "bahkan satpam sekolah juga udah gue paksa berhenti merokok. Bukan cuma lo, anjir."

Yuga terkekeh hambar. "Ah, begitu ternyata. I'm not that special, riiight?"

"Iyalah, lo cuma salah satu sahabat gue yang aneh. Itu aja," dengus Aga, lalu menepis tangan Yuga. "Gue haus, lo harus traktir es teh!"

"Es teh pahit, mau?"

Aga tersenyum miring. "Boleh, lumayan buat nyiram muka Ringgo."

"KOK GUE?!" protes Ringgo, "oh iya, jadi band kita gimana, nih?"

"Band? Band apaan, sih?!" Aga tidak mengerti maksud Ringgo, karena Ringgo memang belum memberi tahu Aga dan Kei soal rencananya membuat band.

"Buat tampil bulan depan! Kalian setuju, kan?" tanya Ringgo semangat.

Yuga pun menghela napas. "Lo nyimak omongan gue dari tadi nggak, sih? GUE NGGAK BISA!"

"Ayolah, gue yakin lo bisa, Yuga! Katanya lo mau bales kebaikan cewek-cewek yang baik ngasih lo makanan mulu?"

"Hmm, mereka kayaknya ikhlas ngasih gue makanan. Jadi, gue nggak wajib bales mereka, kan?"

"Heh! Lo berubah pikiran? Nggak konsisten!"

Kei menepuk tangannya beberapa kali. "Udah, udah. Ayo kita omongin masalah band di kantin aja, gimana? Udah bel istirahat, kalian nggak denger?"

"Oke, let's go!" Ringgo merangkul Yuga dan Kei, tentunya dengan paksa.

"Heh, kok gue ditinggal?!" seru Aga, tentu saja.

"Apa?! Lo mau gue rangkul juga?"

"Najis."

[]

Cutie Pie [Short version]Where stories live. Discover now