Bab 06 - Ingin Membantu

Start from the beginning
                                    

     "Ha?"

     "Josh! Buruan!!"

     Pemuda berkulit putih pucat itu masih bingung, hingga sebuah suara berhasil membuatnya menoleh ke depan. Dia tersentak bukan main.

     "Woi! Mau kemana?! Kesini kalian!"

     Joshua lantas menyusuli Hendra yang sudah lebih dulu terengah-engah, menghindar dari jangkauan para preman yang dipenuhi rasa kekecaman mendalam.

     Gejolak hati terpacu-pacu diikuti langkah-langkah kaki yang menggebu-gebu. Rasanya seperti dikejar oleh segerombolan anjing yang menyalak dengan keras. Hembusan napas mulai naik-turun, berusaha mengontrol tubuh agar tidak limbung di tengah jalan.

       Di depan, Hendra yang memimpin jalan, mengarahkan mereka berdua ke suatu tempat. Kali ini Joshua tak punya akal lagi untuk menolak instruksi Hendra, yang sebelumnya berujung pada kecerobohan. Ransel dan sebuah kardus saja menyulitkannya untuk bergerak dengan bebas, sementara Hendra yang memeluk gundukan plastik besar itu tidak menyulitkannya sama sekali, seolah isi dalamnya berupa hidrogen yang sangat meringankan pergerakannya.

     Mereka berbelok dengan cepat ke sebuah gang sempit lainnya, jauh lebih sempit menyesuaikan ukuran para pejalan kaki atau sepeda motor yang lalu lalang.

     Tubuh-tubuh mereka menyandar ke tembok lalu sesekali mencuat kepala, mengintai apakah "anjing-anjing" itu masih mengikuti atau tidak?

     Suara riuhan langkah-langkah kaki perlahan mendekat ke arah kanan mereka berdiri. Terlonjak, memaksakan mereka untuk berjongkok dan menunduk, kalau-kalau edaran mata para preman berhasil menemukan keberadaan mereka sekarang.

     Joshua dan Hendra sudah bisa meregangkan tubuh setelah para preman yang nampak frustrasi hingga berbalik ke basecamp.

     "Keparat! Bisa-bisanya dia terus-terusan mengincarku. Padahal aku pernah bilang padanya akan melunasi utang itu cepat atau lambat!"

     Hendra berhasil meluapkan kemuakannya dalam satu tarikan napas. Walaupun bukan urusan Joshua sama sekali, dia tak sampai hati melihat temannya berurusan dengan utang-piutang, apalagi Hendra yang berkeinginan untuk pulang ke kampung halaman, di Pontianak.

     Jatah penghasilan saja dua puluh lima ribu per bulan untuk setiap karyawan, terlebih Marzuki tak terima negosiasi dalam bentuk apapun hanya karena mereka mendongkrak agar gaji dinaikkan olehnya.

     Joshua justru memikirkan alasan di balik hutang tersebut dan berapa nominalnya? Namun kecil kemungkinan Hendra memberi tahu hal tersebut.

     "Aku bisa membantu untuk itu. Setidaknya setengah dari gajiku nanti akan ku—"

     "Nggak. Nggak usah! Aku bisa mengurusnya sendiri," ringis Hendra.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

     Semburat jingga mulai terlihat dari ufuk timur. Hingga sinar naik ke langit, menyilaukan beberapa pasang mata. Pengendara roda dua dan roda empat mulai menguasai jalan raya, terutama angkutan-angkutan umum yang berserakan dimana-mana.

     Mereka menaiki salah satu angkot. Berwarna kuning, berbentuk layaknya minibus. Namun, berukuran kecil dan pendek. Tempat duduk yang tersedia hanya memuat tiga ruang, para penumpang harus rela bersempit-sempitan jika ada beberapa penumpang baru menaikinya.

     Kedua pemuda itu lantas masuk menunduk kemudian duduk menyamping dengan kepala yang hampir menyentuh bagian atas angkot. Unik, menurut Joshua. Tak pernah dia temukan modelan angkutan ini di tempat asalnya.

     "Kemarin kamu ada bilang kalau Pak Budi membincangkan soal rumah ayahmu, kan? Jadi, kamu masih ingin mencari beliau?" tanya Hendra tiba-tiba yang sukses membuat Joshua seketika kalut.

     "Entahlah, harus mencari kemana emangnya? Alamat rumah saja nggak tahu!" ketus Joshua. Lalu mendapati tatapan-tatapan kurang mengenakkan oleh sesama penumpang. Lantas dia membuang muka ke arah jendela angkot seraya berujar.

     "Untuk apa kamu berusaha membantu kalau bantuan aku saja kamu tolak mentah-mentah?" Dia merendahkan intonasi dengan sinis sehingga Hendra yang berada di samping berdecak, menggeser tubuh sedikit ke kanan.

     Sepanjang perjalanan, angkot berhenti bergiliran. Menurunkan beberapa penumpang sesuai rute yang dituju masing-masing. Hanya tinggal menyisakan dua pemuda yang tak kuasa menahan kantuk lebih lama lagi, saking bosan memandangi jalan, tapi tak kunjung sampai ke rute tujuan mereka.

     Angkot segera melewati  perempatan tugu Jogja, kemudian melesat lurus ke arah selatan. Goyangan-goyangan pada angkot yang ditimbulkan tak membuat mereka terganggu apalagi ketika angkot melaju dan hampir mendorong tubuh ketika terlelap.

     Tak berselang lama, angkot memberhentikan mereka tepat di depan kedai. Terlihat beberapa orang di sana tengah membawa barang bawaan sambil menunggu-nunggu agar pintu besi terbuka. Sang supir menyahut Joshua dan Hendra yang terbangun di kursi belakang tak lupa menagih ongkos.

     "Hendra ...."

     Joshua mencoba mendamaikan suasana di antara mereka sebelum melangkah menuju kedai. Dia menghela nafas dalam.

     "Maaf atas kelancanganku tadi. Aku cuma mau ada korelasinya."

     Hendra terdiam cukup lama, memikirkan sesuatu.

     "Gimana kalau kita kerja sama, Josh? Maaf, aku bukannya nolak bantuanmu, tapi aku nggak mau membebankanmu dengan urusanku. Kita sama-sama menyelesaikan utang itu, baru kita sama-sama mencari ayahmu? Sepakat nggak?"

     Hendra mengulurkan tangan, menunggu Joshua yang menimang-nimang usulan tersebut.

     "Sepakat," timpal Joshua bulat lalu menyambut erat uluran tangan Hendra dengan mantap.



Hlm 06 | Jendela Joshua

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now