hari pertama

27.3K 1.4K 86
                                    

Ada ruang hatiku yang kau temukan

Sempat aku lupakan kini kau sentuh

.

.

.

"Putri Vashanda," Pak Sugi, guru BK, menyebutkan namaku dengan frustasi. Terlihat jelas dari geraknya menggaruk-garuk rambut hitamnya yang mulai memutih. "Belum genap satu bulan semester baru dimulai, tapi kamu sudah terlambat lima kali."

Aku hanya menyengir menanggapi ucapannya.

Pak Sugi meletakkan buku catatan keterlambatan siswa miliknya di atas meja, lalu menghela nafas panjang. "Kalau ada lomba datang terlambat di sekolah ini, Bapak yakin kamu pasti jadi juara umumnya," ucapnya sarkastik.

"Makasih, Pak," jawabku.

"Itu bukan pujian," tukas Pak Sugi. Ia melepaskan kacamata bacanya, lalu menatapku dengan raut serius. "Kamu sudah kelas sebelas. Harusnya kamu bisa lebih baik dari waktu kelas sepuluh dulu."

Aku hanya diam mendengarkan ceramah guruku yang satu ini. Mendengarkan petuahnya sudah bagai makanan sehari-hari bagiku. Sudah biasa.

"Tahun lalu, total keterlambatan kamu lima puluh tiga kali dalam dua ratus delapan pertemuan," ujar Pak Sugi.

"Wah, parah banget ya, Pak," timpalku.

"Tuh kamu tau." Pak Sugi memijit pelipisnya. "Terus terang, Bapak juga bingung mau menghukum kamu dengan cara apa lagi."

Sekali lagi, aku menyengir.

Berbagai macam hukuman memang sudah kujalani. Menulis esai, dipulangkan lebih lama dari murid-murid lain, dijemur di lapangan upacara, mencuci toilet, sampai pemanggilan orangtua. Semua sudah pernah kucoba. Namun kebiasaan sulit bangun pagiku sepertinya sudah mendarah daging. Biar dihukum bagaimana pun, aku akan tetap terlambat bangun.

"Hukuman apa yang belum pernah kamu coba?" tanya Pak Sugi dengan ramahnya, seperti menawariku hadiah.

Aku mengedikkan bahu. "Mmm..., diskors?" gurauku.

"Boleh dicoba."

Mataku melotot seketika. "Eh, jangan dong, Pak! Bercanda doang," rengekku. Tidak menyangka Pak Sugi menanggapi ucapanku dengan serius.

"Kamu bercanda, Bapak nggak." Pak Sugi tetap pada pendiriannya.

"Yaaah, Pak. Jangan skors saya, dong. Ntar mau bilang apa sama Bunda?" aku memohon.

"Bilangin biar kamu nggak bakal telat bangun lagi," ucap Pak Sugi. "Ini demi kebaikan kamu juga, Vashanda."

"Yaaah, Pak. Please dong. Jangan skors," Aku mengatupkan kedua telapak tanganku, dan memasang muka memelas pada Pak Sugi. "Saya janji saya akan berusaha buat bangun pagi," ucapku.

Pak Sugi terdiam, tampak memikirkan kata-kataku.

"Ya, Pak?" Aku memasang senyum memelas. "Kalau Pak Sugi kasih saya satu kesempatan aja, saya janji saya akan berusaha buat nggak terlambat."

"Baiklah." Pak Sugi bersedekap sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Tapi ini kesempatan terakhir kamu. Kalau sampai kamu terlambat lagi, kamu benar-benar akan saya skors."

Yes! Aku menghembuskan nafas lega. "Makasih, Pak," ucapku senang. "Jadi, apa hukuman saya kali ini?"

.

.

.

Aku melewatkan hari ini dengan sebuah papan karton mengalungi leherku. Papan itu bertuliskan; Saya, Putri Vashanda, tidak akan terlambat lagi.

Dentangan bel pulang yang biasanya membuatku menghembuskan nafas lega, kini membuatku mendengus. Masih ada satu hukuman lagi yang menantiku sepulang sekolah. Hukuman yang menjadi kesempatan terakhirku. Aku kira, hanya sekedar menulis esai atau dipulangkan lebih lama dari murid-murid yang lain. Tapi ini lebih parah daripada pemikiranku.

Coba tebak? Pak Sugi memintaku membersihkan perpustakaan setiap pulang sekolah selama satu minggu. Yup, perpustakaan. Per-pus-ta-ka-an.

Aku bahkan lebih akrab dengan toilet daripada tempat yang satu itu.

Dengan langkah gontai, aku berderap masuk ke pintu perpustakaan yang berada tepat di depan toilet. Ibu Penjaga Perpustakaan yang setia menunggu di balik mejanya mendongak saat aku masuk.

"Nak," tegurnya pelan. "Kalau masuk perpustakaan, sepatunya dibuka."

Aku segera memandang ke bawah. Sepatu hitamku masih melekat dengan manis di kaki. Aku menyengir pada wanita paruh baya itu, lalu segera melepaskan sepatuku. Setelah itu, aku kembali melangkah.

"Nak," tegurnya lagi.

Aku menoleh padanya.

"Sepatunya disimpan di sana," Ia menunjuk pojokan yang berisi lemari-lemari kayu tanpa pintu. "Di atas rak."

Aku tertawa bengis, merutuki ketololanku. Segera ku ambil sepatu hitam berpita itu. Setelah sepatuku terpatri dengan manis di atas rak, aku kembali melangkah ke ruang utama perpustakaan.

"Nak," tegur Ibu Penjaga Perpustakaan lagi.

Apa lagi?!

"Kalau masuk, pintunya ditutup," ucapnya, tanpa menunggu respon dariku.

Aku kembali menoleh. Benar saja, saat masuk tadi, aku tidak menutup pintu. Dengan kesal, aku berderap kembali lalu menutup pintu kayu itu dengan sekali dorong. Setelah itu, aku kembali melangkah ke ruang utama perpustakaan dengan kecepatan kilat, tidak mau lagi mendengar teguran-teguran Ibu Penjaga Perpustakaan yang lain.

Aku menghempaskan tubuhku di salah satu kursi baca. Niatku untuk membersihkan perpustakaan kini hilang sepenuhnya. Moodku sudah dirusak. Aku baru saja menginjakkan kaki disini dan sudah merasa tidak betah. Bagaimana aku bisa bertahan selama seminggu?

"Malesin," gerutuku. "Pak Sugi juga ngasih hukumannya gini amat. Ah, betein."

"Ngeluh mulu."

Aku mendongak, melihat orang yang mengomentari omonganku barusan.

"Daripada ngeluh, mending bantuin gue," lanjutnya. Ia memang sedang mengangkat setumpuk buku tua yang penuh debu. Segera diturunkannya buku-buku itu di meja yang berada di hadapanku. "Bersihin gih."

Aku masih terpaku di tempat saat ia melenggang ke rak yang tadi ditempati buku-buku tua itu.

Deg.

Jantungku berpacu seketika. Bersamaan dengan desiran darah yang kini membuat pipiku panas. Seulas senyum tanpa sadar terukir di bibirku. Mataku mengekori sosoknya yang tengah sibuk membersihkan rak kayu berdebu itu. Sekilas, kulihat papan yang sama dengan milikku terkalung di lehernya.

Cowok ini.

Yang menjadi fokusku, setiap dia ada di sekitar.

Yang ku kirimi surat kagum waktu masa orientasi.

Yang membuatku rela mengundur waktu pulang, demi menontonnya berlatih futsal dari sudut lapangan yang tidak kentara.

Yang seringkali hadir di mimpiku, membuatku enggan membuka mata, dan akhirnya membuatku terlambat bangun.

Dan dia pula yang membuatku banting tulang untuk belajar, demi mendapatkan nilai bagus dan masuk sekolah ini.

Ya, cowok ini. Ialah yang menjadi alasanku.

.

.

.

Ada ruang hatiku yang kau temukan

Sempat aku lupakan kini kau sentuh

Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati


---

A/N: Cerita baru :3 Hope you like it!

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang