Melihat genangan air tenang di sana sontak membuat senyum Asa memudar, ingatan ketika ia tenggelam di sungai kian menghantuinya. Rasanya cukup sakit dan menakutkan.

Rey yang menyadari hal tersebut pun langsung mengalihkan perhatian Asa, pria itu berdiri di depan Asa demi menutupi pandangan Asa dari air sungai tadi. Rey mengajaknya berjalan ke sisi yang lain dengan cara yang tidak begitu kentara.

"Rey kayaknya nggak tau apa-apa tentang Asa ya? Yang Rey tau dari dulu cuma Asa yang jarang bicara. Rey pengen kenal Asa lebih deket lagi boleh?"

"Boleh lah, ya kalik enggak. Mas Husbu boleh tanya apapun tentang Asa."

Rey melengos sambil tersenyum geli. "Jangan panggil Mas Husbu, ntar Rey mleyot."

"Mas Husbuuuuuu," Asa berbicara sedikit berjinjit mendekati telinga Rey.

"Hiiihhhh, Rey serang lagi loh!"

"Iya, iya, enggak," Asa terkekeh pelan, dia menjauh dari Reynya.

"Dek," panggil Rey yang langsung membuat Asa bergidik geli. "Iiihhhhh, geli, Rey."

"Iya biarin, biar sama-sama geli."

Asa tertawa, lalu Rey menarik Asa ke dalam rangkulannya. "Jangan jauh-jauh, nanti Rey kangen."

"Hhhhmmmm," Asa menggumam lagu india.

"Apa lho?" Rey ikut tertawa, dia acak puncak kepala istrinya yang random abis.

"Ekhem," Rey berdeham. "Ada hal yang Asa sukai?"

Asa menggeleng. "Nggak tau."

"Loh? 17 tahun Asa hidup buat apa aja?"

"Belajar, Rey. Asa nggak pernah nyoba hal lain selain belajar, jadi nggak tau."

"Rey kasian banget ya, punya bini primitif-nya naudzubillah."

"Asa kesindir." Rey langsung menimpali, "Emang lagi nyindir."

"Dari dulu Asa kebiasaan belajar, Rey. Asa nggak terlahir pinter, jadi Asa harus berusaha maksimal biar bisa sempurna. Asa nggak pernah nyobain apa-apa."

"Sekarang mau nyoba sesuatu?" tawar Rey, kini mereka memutar arah jalannya menuju rumah.

"Nyoba apa, Rey?"

"Iya hal-hal yang pengen Asa lakuin, siapa tau ada sesuatu yang Asa suka, yang bisa buat terapinya Asa biar nggak nyakitin diri lagi kayak kemarin."

"Emmm, main bola gimana?"

"Hah? Main bola?" Rey membayangkan Asa bermain bola. "Ah, nggak, nggak! Nanti Asa malah guling-guling di lapangan."

"Oh anu, naik paralayang?"

"Asa! Yang bener aja, Asa lagi bunting loh. Nggak boleh, bahaya. Nanti kalau Debaynya udah keluar, baru deh Rey ajak naik paralayang."

Asa cemberut. "Nggak boleh semua masa?"

"Iya yang lain dong, jangan yang bahaya. Gambar kek, main musik, rangkai bunga, merajut, bikin candi."

"Ya udah, naik histeria aja, Asa pengeeen banget nyobain."

"Astagfirullah, sekalian naik ke tower sana ah."

"Laaah, ngambekan. Canda Mas Husbuuu. Asa pengen jalan-jalan, nonton, ke taman bunga, tepi pantai, naik kapal, bikin cangkir couple, terus piknik keluarga."

"Banyak juga," Rey tersenyum lebar. "Iya udah, besok kita lakuin satu per satu."

"Siap komandan."

***

Drrrt! Drrrt! Ponsel Asa berdering.

Asa yang baru saja masuk ke dalam kamar itu segera mengangkat panggilan dari Papanya. "Papah?"

"对不起,这部手机被留在了火车上。我只是想让你知道,因为你看起来真的很担心。," ucap seorang wanita di sebrang sana yang kira-kira jika diartikan seperti; Ponsel ini tertinggal di kereta, saya menghubungi Anda karena sepertinya Anda sangat khawatir.

"Hǎo de, xièxiè gàosù ," (Baiklah, terimakasih sudah memberitahu saya.)

"可能会要求手机主人的资料,我想归还给主人。," (Boleh meminta data pemilik ponsel, saya ingin mengembalikannya kepada memiliknya.)

"Hǎo de, huì tōngguò duǎnxìn fāsòng." (Baiklah, akan saya kirim melalui teks.)

Asa menyudahi panggilannya, lantas mengirim data Papanya sekaligus alamat perusahaan di Sanghai.

"Wang sing song huang ngi zieng." Rey mengejek Asa, sejak tadi dia berdiri di ambang pintu dengan tubuh menyandar di pintu.

"Rey!" Asa tertawa lagi karena logat Rey sangat aneh.

Pria berseragam sekolah itu mendekati Asa. "Siapa yang telpon?"

"Ponsel Papa ternyata jatuh di kereta."

"Oh," Rey ber-Oh ria. "Sejak kapan belajar Bahasa Mandarin?"

"Udah lama, dari kecil. Kata Papa, aku harus bisa biar bisa ngurus perusahaan cabang. Tapi susah banget, masih kaku."

"Udah bagus kok."

"Emangnya Rey tau?"

"Ya enggak, taunya mah bahasa tubuh." Rey memasang earpiece di telinga Asa, lalu menelpon ponsel Asa.

"Ngapain Rey?"

"Biar kita bisa ngobrol terus, jangan dimatiin ya?" Rey juga memasang earpiece di telinganya.

"Biar apa loh?"

"Biar Asa ada temen ngobrolnya kalau kesepian. Jangan ngelamun, kalau nggak ada kegiatan langsung panggil nama Rey aja."

"Iya Reysayang."

"Ah mleyot," Rey memegang dadanya sambil mleyot ke dinding.

"Alay ah," Asa terkikik geli.

"Yaudah, Ayah berangkat dulu ya, Bunda?" Rey mengecup kening Asa. "Jangan aneh-aneh lagi loh, semua benda tajem udah Rey buang."

"Iya, Rey. Yang semangat belajarnya."

"Siap kapten!"

Rey berhenti di pintu kamar Asa. "Coba ngomong!"

"Apa?" jawab Asa menatap Rey yang sedang mengecek sambungan earpiece.

"Udah normal. Jangan dimatiin loh! Jangan dimatiin sebelum Rey pulang!" tegas Rey sekali lagi.

"Iya, Mas Husbuuuu."

TBC.

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥

Ada yang nunggu next?

Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.

Jangan lupa follow akunku juga, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.

6K komen ya, nanti aku update lagi. ♥
Jangan cefat-cefat, vliss.

Spam apa aja boleh »

Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
ILYSM Dash ✨

DASA (END)Where stories live. Discover now