1. Langit, Laut, Paralel

543 71 30
                                    

Sandar pernah mendengar cerita tentang seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama hanya gara-gara sepasang lubang hidung. Di tikungan jalan, di siang terik, di bawah hitungan mundur lampu merah. Cerita konyol itu selalu menjadi mula dari kursif di ujung bibir Sandar. Lucu dan kelu menjadi satu, bercampur dengan kenang dalam waktu yang sudah banyak terlewat. Hingga saat ini, ketika menemui tokoh itu lagi di kehidupan nyata, rasanya seperti menyaksikan karakter negeri dongeng yang turun dari langit.

Absurd. Aneh. Tapi mendebarkan.

Mungkin ini bagian dari banyak halusinasi dari mimpi-mimpi buruk Sandar selama empat tahun belakangan. Atau malah, mimpi baik juga. Namun di antara semua rangsang indera yang membuat tubuh Sandar gemetar pada momen ketika matanya bertemu sosok itu, Sandar sadar ini kenyataan. Ini benar, ini terjadi.

Banyubiru, laki-laki yang selalu menjadi laut yang tak bisa ia selami, muncul di hadapannya. Dalam wujud paling segar yang cukup membuat lega dan syukur menyesaki dada Sandar. Dalam setelan sewarna pasir pantai yang diciumi ombak, Banyu membawa buket bunga yang baru saja ditangkapnya dari mempelai wanita beberapa detik lalu. Mendaratnya bunga mawar merah muda itu semestinya menjadi hitung mundur bagi Sandar untuk mulai menyanyi. Namun ternyata itu menjadi detik magis yang mempertemukan titik Sandar dan Banyubiru kembali.

Lirik lagu berlarian dari bibir Sandar yang gagal bergerak. Tiap katanya rebah jadi gumam. Senar gitar mematung, lolos dari petik jemarinya yang gemetar. Andai Banyubiru tak menatapnya dalam senyum haru dan mata yang basah, Sandar akan membiarkan musik mengapung pergi dari atas panggung tempatnya berpijak gentar. Terpuruk lagi, sama seperti empat tahun sebelumnya, saat punggung itu berbalik meninggalkan Sandar yang hanya seonggok daging penuh dosa.

Namun Banyubiru adalah Banyubiru, yang selalu punya payung bagi orang di dekatnya untuk ikut tersenyum. Memori terbaik Sandar tentang sosok itu masih hidup, bahkan hingga kini setelah semua yang terjadi di masa lalu. Detik itu, saat Sandar dan Banyubiru bertemu mata, kilas balik bertahun sebelumnya tumpah ruah di kepala Sandar yang lelah. Emosi rumit menjerat aliran napasnya. Namun reaksinya atas itu semua ternyata ringkas saja:

Sandar tersenyum.

Matanya panas, namun Sandar nyatanya mampu tersenyum. Canggung, tapi itu tetap senyuman. Ulasan yang selalu muncul, tertular dari pemuda yang dari jauh berdiri menatap Sandar dengan binar mata haru. Membisikkan nama Sandar samar-samar, di tengah musik yang melaju bingung ditinggalkan petikan gitar Sandar yang bungkam.

"Sandar ...."

Di antara kesempatan temu yang tinggal berjarak beberapa langkah, harap tipis tak tahu malu Sandar Langit bertunas. Jika Sandar adalah langit yang memenuhi takdir untuk selalu parallel tanpa temu dengan kedalaman laut Banyubiru, Sandar rela mengalami badai sekali lagi untuk mengalami sebagian laut itu.

Sedikit saja, sekali lagi. Meskipun hanya sebentar, sebelum akhirnya kembali berpisah layaknya langit dan lautan.

Biru Langit [TAMAT]Where stories live. Discover now