Asa mengerling ke samping, menatap Rey yang masih berdiri di sana. Gadis dengan piyama banana itu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan.

"Aku, aku nggak lewatin batas kok." Asa mengerjapkan matanya dua kali karena Rey hanya diam sambil terus menatapnya.

Sejurus kemudian, Rey pergi dari hadapan Asa seolah gadis itu tidak ada di sana. Asa akhirnya dapat bernapas dengan tenang, dia mengelus dadanya yang hampir lelah menahan napas.

"Asa! Turun, Nak. Ayo sarapan!" teriak Nisha dari dapur lantai bawah.

"Iya, Tante, eh, Bunda." Asa masih tidak terbiasa memanggil Nisha dengan sebutan Bunda, terasa sangat aneh dan canggung.

Asa pun turun ke bawah dan berjalan menuju dapur. Di meja makan yang tersambung dengan kitchen set itu Rey berdiri meski baru memasukkan dua suap ke dalam mulutnya.

"Rey berangkat dulu, Bun!" pamit Rey mencium tangan Sang Bunda.

"Loh nggak dihabisin makannya? Ini susunya udah Bunda bikinin nggak diminum juga--"

"Bun!" Rey melotot, seakan-akan mengkode agar Bundanya diam.

Tidak peka, Nisha malah semakin menyodorkan susu di tangannya. "Diminum dulu! Mubadzir kalau nggak diminum, Mas. Ini kan susu L-men, masa Bunda yang minum? Masa juga Asa yang minum?"

"Buunnnnn," rengek Rey malu. Dia pun terpaksa menerima mug putih berisi susu dan segera meneguknya.

"Rey tuh aslinya manja banget kalau di rumah--"

"Buna nggak usah ngadi-ngadi ya," Rey menelan sisa susu di mulutnya. "Orang Buna sendiri yang suka manjain Rey."

Rey meletakkan gelas kosong di atas meja.

"Tuh kan, Sa. Sabar kalau sama Rey, dia juga suka naruh barang sembarangan. Harusnya kalau kotor kan langsung taruh wastafel," sindir Nisha.

Rey meringis greget, dia langsung merebut mug di tangan Bundanya. "Biar Rey aja!"

Rey tidak meletakkan mug di wastafel, tapi sekalian langsung dicuci biar Bundanya nggak crewet lagi di depan Asa.

"Yuk makan," ajak Nisha pada Asa.

***

Dug! Dug!

Bola basket terus didribble oleh seseorang yang kini mulai berdiri di tengah lapangan indoor, Elvan memasang kuda-kuda dan melemparkan bola ke dalam ring.

Gagal, bola menyentuh tepi ring dan terlempar ke sembarang arah.

Elvan mengambil bola lain yang berada di kranjang dorong, lalu melakukan hal yang sama sebanyak puluhan kali. Dia bermain bola sendiri seperti seseorang yang sedang frustasi, banyak bola berceceran di lantai lapangan.

"Gue udah bukan pacar lo lagi sejak lo abaiin telpon gue waktu itu. Jadi tolong nggak usah ikut campur sama kehidupan gue, El!"

Dug! Bola yang Elvan lempar lagi-lagi gagal memasuki ring, ucapan Asa waktu itu terus mengganggu pikirannya.

"Lo udah bikin gue menderita kayak gini, apa masih kurang buat lo? Lo bahkan lari dari tanggungjawab, dan sekarang lo main klaim ngatur-ngatur gue buat ini itu sesuka lo sendiri."

Elvan mendribble bola seperti membentuk gerakan mengecoh lawan, dia juga berlari dan melompat setelah sampai di dekat ring.

"Maaf, El. Asa lo udah mati dari kemarin, sekarang gue udah bukan Asa lo lagi. Jadi tolong berhenti ngatur kehidupan gue, El. Berhenti juga--"

DUG! Dug! Dug! Bola kembali gagal memasuki ring, Elvan berteriak keras sehingga suaranya menggema di gedung olahraga yang kosong itu.

"KALAU GITU TANGGUNGJAWAB! Liat! Lo bahkan nggak berani, El."

Brak! Elvan melempar bola sampai bola itu mengenai papan ring. "Bangsat lo, Sa! Lo ninggalin gue, Anjing!"

Elvan melanjutkan aktivitasnya, bermain bola basket secara brutal tanpa berniat untuk berhenti meski hanya sekejap saja.

"El, istirahat dulu. Lo kalau kek gitu mulu bisa sakit, turnamen bentar lagi." Gavin datang sambil membawa dua botol minuman.

Meski Gavin tau jika Elvan memang brengsek, tetapi Elvan tetap partner tim basket kesayangan sekolah. Gavin juga bukan tipikal orang yang pilih-pilih teman, jadi tidak masalah berteman dengan siapa saja.

"Lo nggak liat gue lagi latihan?!" sentak Elvan melempar bola lagi ke dalan ring.

Gagal, lantas Elvan akan berteriak lagi.

"Pikiran lo kacau, El. Jadi, sekeras apa pun lo latihan semuanya akan percuma, yang ada malah tubuh lo yang kecapekan."

"Uhuk," Elvan terbatuk karena kelelahan, pria itu menekan dadanya yang terasa berat. "Gue mau Asa, Gav! Gue pengen Asa ada di sisi gue!"

"Kalau gitu, kenapa lo nggak tanggungjawab aja? Kenapa malah biarin Rey yang ngambil tanggungjawab itu--"

"Bangsat lo nggak tau apa-apa, Njing!" Elvan malah berkata kasar sambil terus menekan dadanya yang mendadak sakit.

Peluh terus menetes, membasahi rambut dan wajah Elvan. Tubuhnya semakin lemas karena tidak makan seharian, sefrustasi itu dia kehilangan Asa.

"Darah, El." Gavin menunjuk cairan kental yang mengalir melalui hidung Elvan.

"Anjing!" umpat Elvan menengadahkan kepalanya untuk menyeka darah yang keluar.

TBC.

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥

Ada yang nunggu next?

Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.

Jangan lupa follow akunku juga, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.

1,5k 👁‍🗨 + 2,5k 💬 ya, nanti aku update lagi. ♥

Spam apa aja dulu boleh »

Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
ILYSM Dash ✨

DASA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang