01. Anei

43 11 0
                                    

"Kenapa?"

Seorang gadis berambut pendek duduk di sampingku dengan wajah murung. Kedua lengannya gemetaran dan matanya yang sedikit memerah. Ia menggigit bibir seperti menahan tangis. Aku mengamati gadis itu dan melihat sebuah lipatan kertas kecil berbentuk persegi terapit di antara jari jempol dan telunjuknya.

"Ney?"

Gadis itu sama sekali tidak menghiraukanku, namun tiba-tiba saja dia menghambur memelukku dan melepas tangis yang sedari tadi ia tahan. Aku sedikit kaget namun mencoba menyesuaikan diri dengan suasana. Aku membalas pelukannya dan mengusap pelan puncak kepalanya.

"Na, aku ditolak"

Aku mengernyit. Sedikit terkejut.

"Ditolak? Siapa?"

"Yuda"

"Hm?" Aku mengangkat alis, sembari menghela nafas. Aku melepas pelukan kami. Lalu mencengkram bahunya dengan tidak terlalu kasar lalu menatap dalam-dalam manik coklat Anei.

"Segitunya kamu mau deketin dia?" Aku bertanya dengan nada dingin. Gadis ini mungkin kehilangan akal sehatnya untuk sementara jika topiknya sudah berkaitan dengan Yuda.

Anei mengangguk. Anggukannya membuatku sedikit muak—entah kenapa. Aku memperkuat cengkramanku pada pundaknya—tanpa aku sadari itu ternyata membuatnya sedikit meringis.

"Maaf"

Reflek, aku menjauhkan tanganku.

Anei menyeka air matanya dengan kepala sedikit dimiringkan. Dia melihatku dengan wajah polosnya dan jari telunjuk didekatkan ke pipinya.

"Nala kenapa minta maaf?" Tanyanya lirih.

"Maaf kalau aku sedikit kasar. Padahal aku perempuan. Setidaknya sebagai sahabatmu, aku harus sedikit lebih lembut." Ujarku memperjelas. Aku menyandarkan tubuhku agar sedikit lebih rileks lalu menatap langit cerah. Menghela nafas untuk melepaskan rasa bersalah itu.

"Oh, tidak apa-apa. Ini juga salahku" cuit  Anei.

Aku mendecak kecil . "Ternyata kamu sadar juga. Seharusnya kamu tidak membuang waktu untuk seorang pria yang bahkan tidak melihatmu."

Aku tidak tahu apa yang kuucapkan ini benar atau tidak. Bisa menenangkannya atau tidak. Aku tidak tahu. Namun secara realistis, aku bertaruh apa yang kuucapkan barusan benar apa adanya. Anei terlalu berharga untuk pria seperti Yuda. Ya, maksudku dia berharga untukku.

Ekor mataku melirik reaksi Anei. Gadis itu tersenyum kecut dengan kepala menunduk. Jari-jarinya masih memegang erat kertas persegi itu. Aku tahu, dia pasti tidak bisa menerima dengan mentah apa yang sudah kukatakan. Namun, jujur saja aku juga tidak tahu mau berbuat apa.

"Kertas itu? Surat cinta?" Aku bertanya.

Anei tidak menjawab. Dia langsung memberiku kertas itu. Aku menerima kertas itu dan membukanya.

Terpampang tulisan khas Anei di sana.

Perasaan itu rumit untuk dipahami.
Karena untuk memahami-pun harus butuh perasaan.
Namun saat keduanya tidak ada;
Baik perasaan itu ataupun keinginan untuk memahaminya.
Tidak ada yang harus dilakukan.
Mereka, aku dan kamu tidak bisa bersatu.
Kita hanyalah potongan cerita yang tidak lengkap dan tidak akan pernah selesai.

Anei

Aku mendecak, merasa sulit untuk memahaminya. Tidak pernah ada yang hadir dalam diriku, hatiku atau bahkan hidupku. Kecuali Anei—gadis itu selalu menemani keseharianku.

SEMU  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang