24

619 74 17
                                    

Sudah 2 tahun sejak dokter mengatakan soal penyakitku. Hal yang sangat sulit aku terima ketika sang dokter berkata aku harus segera membuat keputusan mengenai langkah yang aku ambil.

Dokter berkata jika operasi adalah satu-satunya cara agar aku bisa bebas dari rasa sakit ini. Tapi dengan resiko, aku tak akan bisa mencintainya lagi. Penyakit sialan ini merenggut kebahagiaanku. Aku tak mau mati tapi aku juga tak mau berhenti mencintainya.

Mencintai seseorang yang sama sekali tak mencintaimu kembali. Merasakan apa yang tidak dia rasakan. Menangisi dirinya ketika ia berkata baru saja mendapatkan kekasih baru dan seenaknya bercumbu di depan mata. Rasa sesak dan tangis yang ku tahan selama ini membuat penyakit ini muncul.

Dokter pernah berkata seperti ini kepadaku, "Lebih baik kau berhenti mencintainya agar kau bisa bertahan hidup. Kondisimu semakin hari semakin memburuk, operasi ini hanya akan menghilangkan perasaanmu dan aku akan tetap hidup dan memulai dengan lembaran baru,"

Yang kupikirkan saat itu, bagaimana caranya aku hidup jika perasaanku kosong? Bagaimana aku harus bertahan jika tak memiliki rasa cinta? Dokter Min sangat bodoh. Ia tak mengerti bagaimana rasanya menjadi diriku.

"Aku baik-baik saja, jadi tetap berikan obat saja kepadaku," kataku.

Dokter Min memandangku dengan rasa iba yang tersorot dari kedua matanya. Hal yang paling tak kusukai, seseorang mengasihaniku padahal aku tak memerlukannya.

"Obat ini hanya menunda, operasi adalah jalan terbaik,"

Kesabaranku habis, aku tersenyum dan memasukkan obatku ke dalam tas. Berdiri dari tempat duduk dan bersiap melangkah,

"Seorang dokter hanya perlu memastikan pasiennya meminum obat dengan teratur,"

"Tapi keselamatanmu juga penting, Hoseok,"

"Hyung, aku sudah bukan anak kecil. Berhenti menasihatiku, aku tahu betul mana yang terbaik, untukku sendiri,"

Setelah mengatakan hal itu aku langsung keluar dari ruangannya.

Dokter Min adalah temanku sekaligus seniorku sejak aku kecil. Kami sudah bersama-sama semenjak aku umur 7 tahun dan dia 8 tahun. Aku sudah menganggapnya seperti saudara laki-lakiku sendiri. Tapi akhir-akhir ini dia cerewet.

Ting!

Aku membuka pesan yang dikirimkan temanku, Jungkook. Orang yang selama ini aku cintai diam-diam. Orang yang selalu aku utamakan di hidupku. Aku juga tak mengerti kenapa aku sangat keras kepala. Cinta pertama memang gila ya? Disakiti berkali-kali pun, aku tak pernah menganggap dia buruk.

"Kau dimana? Kelas sebentar lagi dimulai," isi pesan itu. Aku buru-buru mencari taksi dan pergi ke kampus. Memandangi jejeran rumah dan toko di sepanjang lewat kaca jendela, tiba-tiba aku teringat kali pertama aku dan Jungkook bertemu.

Saat itu aku bertengkar dengan Min Yoongi, temanku si dokter tadi di dekat sebuah toko gitar. Aku tak ingat jelas apa yang kami ributkan, tapi aku langsung meninggalkannya dan tak sengaja menabrak Jungkook. Dia bertanya apa aku baik-baik saja karena mataku memerah. Dia mengajakku duduk di kursi tak jauh dari tempat kami bertemu.

Tangannya saat itu menggenggam tanganku dan berkata, "Jika ada masalah, sebaiknya kau katakan, jangan di pendam sendirian. Walaupun orang yang kau tumpangi cerita tak memberi solusi, setidaknya bebanmu sedikit berkurang,"

Aku ingin sekali menceritakan apa yang terjadi kepadaku saat ini padanya. Aku ingin berkata jika aku mencintainya. Aku ingin berkata jika aku tak bisa hidup tanpa dirinya. Tapi itu tak kulakukan. Aku tak mau membuat dia menjauh dariku, aku tak mau dia marah kepadaku. Kita sudah berjanji tak akan menyakiti satu sama lain sebagai sahabat.

DM Oneshoot (YoonSeok)Where stories live. Discover now