Part 2: Menjadi Mahasiswa Baru

2 1 0
                                    

“Kriiiiinggg! Kriiiinggg! Pagiku cerahku, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundaaakk. Selamat pagi semuaaa!” Alarm dari handphone milik Fatih mulai berdering, menunjukkan waktu sudah pukul 05.15 WIB. Meramaikan seisi kamar, tempat Fatih dan Kevin tidur. Membuat kedua gendang telinganya seketika kaget, mata Kevin langsung terbuka mendengarnya. Fatih masih saja terlelap seperti tak mendengar apapun. Kebetulan handphone Fatih terletak di sisi atas kepala mereka berdua.

“Woii, Fat! Bangun! Alarm kau itu mengganggu tidurku saja! Matikan tu alarmnya!” Kevin berseru kesal dengan badan yang separuh duduk—menggoyang-goyangkan tubuh Fatih yang membelakanginya.

“Hm ….” Fatih mendengus.

Satu menit berlalu. “Kriiinggg!” Alarm itu masih saja berdering keras, membuat ubun-ubun Kevin semakin panas jadinya. Tak tinggal diam melihat Fatih yang tak ada reaksi untuk bangun—

Pletak!

Satu jitakan cukup keras mengenai kepala Fatih.

“Apa sih, Kak?” Fatih berdecak kesal sambil memegang kepalanya yang baru saja dijitak Kevin. Ia menghadap ke belakang menatap Kevin dengan mata yang masih tersipit mengantuk.

“Apa-apa! Lihat tuh alarm kau dari tadi bunyi, menganggu mimpi indahku saja.”

“Hehe … maaf.” Fatih menyeringai sambil sesekali menguap—meraih handphone itu dengan tangan kanannya, lalu mematikan alarm yang baru saja berhenti berdering.

Dengan mata yang setengah terpejam dan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, Fatih menatap lamat-lamat jam yang ada di tampilan layar handphone-nya, sudah pukul 05.17 WIB.

“Weh! Sudah jam 5 lewat.”

Fatih langsung berdiri dan beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat subuh, meninggalkan Kevin yang kembali tidur menggapai mimpinya.

***

Satu jam setengah kemudian.

Fatih telah siap melaksanakan semuanya, mulai dari melaksanakan salat subuh, mandi untuk berangkat ke kampus pagi ini, hingga menyiapkan sarapan nasi goreng buatannya sendiri untuk kakak dan adiknya. Untuk urusan membereskan rumah, itu sengaja Fatih tinggalkan sebagai tugas untuk Kevin dan Humaira.

“Huft! Alhamdulillah, semuanya selesai!” Fatih berbicara menatap pantulan dirinya di cermin kamarnya, dengan setelan baju kaos putih dilampisi jaket semi parka berwarna hitam, celana jeans hitam dan juga sepatu sneakers berwana hitam pula.

“Tampan dan oke sudah, haha!” Fatih memuji dirinya sendiri, tak lupa ia mengusap sedikit rambutnya yang sudah tersisir rapi dan klimis. Setelah itu, ia melirik ke belakang, terlihat Kevin yang masih tertidur. Ia menggeleng, lantas menggoyang-goyangkan kaki Kevin, “Kak! Bangun woii! Engga ingat salat subuh apa? Ingat UMUR dah TUA, SALATLAH!”

“Hm, iya-iya.”

Fatih sengaja menekankan dan mengeraskan suaranya saat mengucapkan kata umur, tua, dan salatlah, itu karena agar kakaknya ini bisa cepat sadar dan mementingkan salat yang telah dilalaikannya. Fatih sadar sedari kecil, betapa pentingnya akan kewajiban salat bagi setiap muslim di dunia ini, terutama dirinya sendiri, bahwa salat ini merupakan hal yang pertama kali dihisab oleh Allah SWT di akhirat kelak. Salat jugalah yang membedakan mana hamba yang taat kepada Rabb-nya dan mana yang kafir.

Melihat hal seperti ini, Fatih jadi teringat sebuah postingan seseorang yang bertuliskan ‘Jangan pernah merubuhkan tiang agama, dengan tidak mendirikan salat!’ dan sebuah video tentang orang Islam yang tidak salat dari seorang ulama yang pernah didengarnya, ‘Musibah anak cucu Adam lebih besar daripada musibah Iblis, karena Iblis lebih memilih menolak untuk sujud kepada manusia, dan anak cucu Adam memilih menolak untuk bersujud kepada Allah SWT sebagai Rabb-nya’.

Fatih melirik jam di tangan sebelah kirinya, “Sudah hampir jam 7. Kak, aku berangkat ke kampus dulu, ya! Mungkin aku akan menginap selama beberapa hari di kost. Sarapan juga sudah aku siapkan di dapur. Assalamualaikum!”

“Waalaikumussalam, hati-hati!” Kevin berseru dari balik bantalnya.

Fatih tak menyahut ucapan kakaknya itu, dan langsung berjalan keluar kamar dengan tas yang telah tersandang di punggungnya, menuju sepeda motornya yang berada di luar dan tak lupa mengenakan helm.

“Bismillahirrahmanirrahim. Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi wa la haula wa quwwata illah billahil aliyyil adzim.” Fatih melafazkan doa keluar rumah dengan mantap, lalu langsung menancapkan gas motornya menuju kampus.

Dengan sepeda motor milik ayahnya, Fatih berangkat, melaju dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Jalanan yang masih belum terlalu ramai, karena masih terlalu pagi untuk semua orang beraktivitas, apalagi jika itu hari Ahad.

***

Akhirnya, 55 menit perjalanan, kini Fatih telah sampai di kampusnya, ia lebih memilih langsung ke kampus sebelum mampir ke kost. Masuk melewati gerbang depan, disambut dengan megahnya gedung rektorat kampus yang berwarna abu-abu putih, menjadi ikon Universitas Islam Negeri ini. Dihubungkan dengan lapangan hijau yang cukup luas dan taman bunga dengan air mancur di depannya.

Perasaan grogi, greget, takut tersesat, dan terharu karena sudah merasa dewasa dan menjadi mahasiswa, semua bercampur menjadi satu dalam hati dan benak Fatih saat mengendarai motornya masuk kampus. Bukan juga pertama kalinya ia masuk kampus ini, tetapi karena belum hapal semua denah kampusnya, membuat Fatih mengikuti orang-orang yang berkendara di depannya untuk menuju ke fakultasnya.

Fatih melirik ke arah jam di pergelangan tangan kirinya, “Weh, sudah jam 8 lewat 15 menit, terlambat pula aku niii!”

Melihat orang-orang sudah mulai berkumpul di depan Fakultas Syariah dan Hukum, Fatih melajukan motornya dan segera memarkirkannya mengikuti yang lain. turun dari motornya, Fatih mengambil handphone-nya di saku sebelah kiri, lalu membuka aplikasi WhatsApp-nya dan mencari nama seseorang yang sudah membuat janji untuk bertemu dengannya.

[Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Wak. Aku dah sampai depan fakultas ni, Wak. Kau di mana posisi sekarang?]

Tak ingin berlama-lama lagi dan karena sudah banyak yang berkumpul, Fatih berjalan santai dengan ekspresi cuek dan tak ingin memandangi siapapun. Ia berdiri di posisi belakang, sambil sesekali memperhatikan yang lain, siapa tahu ia dapat berjumpa dengan teman kenalannya.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Semuanyaaa.” Suara seseorang dari depan mengalihkan perhatian mahasiswa baru lainnya. Sepertinya ia merupakan mahasiswa senior di kampus ini.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Fatih menjawab salam itu serentak dengan mahasiswa baru lainnya.

Fatih melihat beberapa orang dosen keluar dari fakultas dan berdiri di depan. Terdengar sebuah instruksi dari mahasiswa senior itu untuk menyuruh berbaris berdasarkan jurusan masing-masing sesuai dengan papan tulisan yang bertuliskan nama jurusan yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum ini. Suasana riuh dari para mahasiswa baru yang berbaris sesuai jurusannya masing-masing. Jurusan Fatih, Ekonomi Syariah terdapat di barisan sebelah kiri paling ujung. Ia tetap pada barisan yang selalu menjadi favoritnya, yaitu barisan paling belakang.

Hingga seorang mahasiswa senior berjalan dari depan menghampirinya, “Eh, Dek, Dek, barisannya maju lagi, ya, ke depan. Soalnya nanti takutnya enggak kedengaran pengumumannya.”

“Eh, iya, iya, Kak siap!” Fatih menatap ke arah mahasiswa senior itu, melihat sebuah nama tertulis di pakaiannya.

“Ohh … jadi ini yang namanya Azizul Fikri itu? Seorang Ketua Senat Mahasiswa di fakultas,” gumam Fatih dalam hati, “Bolehlah jabatannya. Ternyata seru juga ya rasanya jadi mahasiswa. Haha!”

Sang PemimpinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang