Saat aku berjalan ke arah gerbang, Pak Revan memanggil namaku. Lantas aku berbalik menatapnya penuh tanda tanya.

Ia ikut keluar menghampiriku yang diam berdiri menunggu apa yang hendak di katakan Pak Revan.

Sampai di hadapanku, ia masih terdiam. Ia menangkup wajahku, lalu sesuatu yang kenyal mendarat di keningku.

"Saya berangkat, pagi ini ada meeting!" ucapnya lalu berjalan kembali masuk ke dalam mobilnya.

Ia memajukan mobilnya, meninggalkan aku yang masih menatap mobil yang di kendarainya menjauh dengan wajah cengo dan bingung.

Setelah tersadar, tiba-tiba pipiku memanas jantungku berdentam keras. Sialan Pak Revan! Bikin baper anak orang!

Aku menghadap ke kiri dan ke kanan memastikan tidak ada yang melihat interaksiku tadi dengan Pak Revan. Tetapi saat berbalik ke belakang jantungku rasanya jatuh ke lambung ketika melihat Arga berdiri tak jauh di hadapanku.

Dengan wajah yang di buat setenang mungkin, aku mendekat.

"Udah lama di sini?" tanyaku. Berharap dia sama sekali tak melihatku tadi bersama Pak Revan.

"Baru aja," jawabnya cuek dengan wajah datar.

Aku bernapas lega, mengontrol detak jantungku.

"Lo di anter siapa ke sini?" tanyanya.

Tersenyum kikuk, aku menjawab, "sendiri, naik ojol!"

"Oh!" ia segera pergi seolah tidak mau terus-terusan di dekatku.

Tak mau berpikir buruk, aku mengikuti langkahnya di belakang menuju kelas.

* * *

"Uuuuuuuuhhhhh somay emang enak!" gumam Tania memejamkan mata menikmati setiap suapan somay di mulutnya.

"Lebay! Dari tadi ulang kata-kata itu mulu!" sahutku.

"Emang bener enak!" jawabnya tak mau kalah.

Aku menatap Arga yang terus terdiam dengan wajah datar.

"Ga! Lo cobain deh enak banget!" Tania menyuapkan somay ke depan mulut Arga. Tapi Arga sama sekali tak mengubris.

"Gue nggak suka!" jawabnya.

"Yaudah!" Tania memasukkan somay yang sebelumnya ditolak Arga ke dalam mulutnya.

Suara kursi berderit terdengar, dan Satria duduk di kursi tepat di sampingku.

"Gue numpang lagi!" tanpa menunggu persetujuan kami ia malah meletakkan piring berisi nasi goreng miliknya di atas meja.

"Hai Ara!" sapa Satria menaik turunkan alisnya.

"hai!" balasku dengan wajah datar.

"Lo tau gue mimpi apa semalam? " tanyanya sama sekali tak ku tanggapi.

"Mimpi basah?" Arga tiba-tiba menyahuti.

"Sembarangan! Ada cewek nih di sini! Mulutnya di jaga!"

Ok, sekarang Satria bersikap sok bijak!

"Ra!" panggilnya. "Semalam tuh gue mimpi kita nikah! Lo setiap pagi siapin sarapan terus gue meluk lo dari belakang. Tidur bareng, terus bikin dede gemoy!"

Setelah bersikap sok bijak, dia kemudian berhalu.

"Gimana kalau kita wujudin mimpi itu?"

Aku menoleh melihat wajah tengilnya. "Setelah maksa ngajak pacaran sekarang malah ngajak gue nikah?"

"Lebih tepatnya membangun rumah tangga!" setelah mengucapkan itu dia tertawa, menertawai ucapan anehnya. Emang sinting.

"Lo di ajak pacaran nggak mau! Yaudah gue ajak nikah aja!"

Aku menggeleng. Satria memang sering ngaco seperti ini.

"Jangan ganggu kita deh!" Tania bersuara merasa risih.

"Siapa yang gangguin elo! Gue cuma lagi ngomong sama Ara!" jawabnya sementara Arga hanya menatapnya sekilas lalu lanjut makan.

Telunjuk Satria tak berhenti diam, ia terus-terusan menusuk-nusuk pipiku membuatku ingin melempar mangkok bakso ke wajahnya.

"Ra! Pacar lo liatin kita!" bisiknya. Tak bisa di sebut berbisik juga karena suaranya keras, terbukti Arga kini kembali menatapnya.

Ternyata dia masih percaya bualanku waktu itu. Dan menganggap kalau aku dan Arga pacaran.

"Cemburu tuh!" ia terkekeh merasa geli. "Pacar lo cemburuan amat tinggalin gih!" hasutnya.

Berusaha untuk mengabaikan, orang di sampingku ini malah menarik wajahku untuk menatapnya.

"Jadi pacar gue ya?" ia membelai pipiku masih menatapku dalam.

Tiba-tiba saja Satria tertarik ke belakang dan bogeman mentah mendarat di rahangnya hingga sudut bibir Satria mengalir darah.

"Lo bisa nggak sih jangan gangguin temen gue?" wajah Arga terlihat emosi.

Tak ada angin tak ada hujan, dan entah apa yang merasuki Arga hingga berubah semurka ini.

"Oh cuma temen?" seolah tak merasa takut Satria malah tersenyum remeh.

Kegiatan di kantin terhenti. Orang-orang yang berada di kantin menatap kami ingin tau. Menjadikan kami pusat perhatian.

"Kalau cuma temen, terserah gue dong mau nembak dia!" Satria kembali berucap.

Mata Arga terlihat menggelap rautnya berubah dingin. Tanpa menunggu lagi, pukulan kembali Arga layangkan dan kini mengenai pipi kanan Satria.

Satria tak melawan ia hanya tertawa seolah kemarahan Arga adalah hal yang lucu.

"Arga stop!" larangku. Ku lihat Tania terkejut dan wajahnya memucat.

Aku mendekati Arga, mengelus bahunya menenangkan. "Satria jangan bikin masalah!" ucapku lalu menarik Arga menjauh dari kantin. Tania juga mengekor di belakang kami.

* * *

Tbc.....

Mr.Teacher Pervert [Completed] जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें