"Oke." Panji mengangguk dengan wajah yang masih tampak dingin dan keras. "Mulai sekarang, saya gak akan mau urus kamu lagi."

Jantung Anira semakin terasa tak keruan. Ancaman Panji ini entah mengapa membuatnya gentar dan sedikit gemetar. "Asal ... Abang jangan abai dengan kesepakatan kita. Silakan jalan masing-masing dan urus urusan kita sendiri." Anira berbisik lirih dengan hati yang bergetar. Entah, ia tak tahu apa yang membuatnya seketika gugup begini. Ancaman Panji yang baru saja ia dengar, atau kedekatan mereka dengan jarak wajah yang tak sampai dua centi?

Panji mendengkus, lalu beranjak dari hadapan Anira. Pria itu meninggalkan Anira yang seketika merasa kosong dan hampa.

Dari tempatnya, Anira masih berusaha menormalkan deru napas yang terasa menyesakkan dan dada yang sakit entah karena apa. Ia harus mencari sesuatu agar perasaannya tak lagi bergejolak seperti sekarang, setiap dekat dengan Panji.

*****

"Tumben ngajakin ketemuan?" Dion tersenyum seraya duduk di kafe yang biasa menjadi tempat mereka bertemu. "Aku gak bisa lama, gak apa, ya? Masih jam jaga soalnya. Setelah selesai makan, harus kembali ke IGD."

Anira mengangguk dengan wajah cemberut. "Iya, gak apa. Nira hanya lagi bosan saja di depot sendirian. Dari pada mati berdiri gara-gara diem terus, mending ketemu Kak Dion."

Iya, lebih baik begini, batin Anira. Panji sudah kelewat batas perlakuannya kepada Anira. Dua minggu lebih pria itu mendiamkan Anira. Ini durasi yang terlampau lama untuk penyiksaan dalam bentuk perang dingin. Panji tetap berangkat kerja bersama, juga membeli sarapan di warung kaki lima langganan mereka sebelum ke depot. Saat sampai depot, suami Anira hanya akan mengontrol cabang yang Anira tempati sebentar, lalu pergi keliling setelahnya.

Yang lebih menyebalkan lagi, Eva si pengusaha kerupuk kelas receh itu sering membawakan kue basah untuk suami Anira. Alasannya, eksperimen membuat jenis camilan baru dan butuh masukan Panji hingga siap untuk dijual. Saat Anira tahu tentang kebiasaan Eva yang baru ini, hatinya seketika gerah akibat diliputi amarah. Memangnya Panji itu Chef Juna yang mumpuni dalam menilai masakan? Namanya pelakor, punya seribu satu cara untuk menarik mangsa. Anira kesal, karena Panji selalu menerima setiap pemberian Eva dengan tangan terbuka.

"Pesan apa, Nira? Kita gak bisa buang waktu." Teguran Dion menyentak lamunan Anira. Pria itu mengusap lembut punggung tangan Anira yang sejak tadi memandangi buku menu tanpa membaca. "Cordon bleu?"

Anira menggeleng. "Fussili aja, aglio olio," putus Anira tak semangat. Sebenarnya ia kurang suka dengan pasta rasa ini, tapi entah mengapa tiba-tiba ada hasrat untuk menikmati dengan satu cangkir teh hangat.

Dion mengangguk, lantas memanggil pelayan untuk memesan menu makan mereka.

Biasanya, yang kemarin-kemarin itu, Anira akan sibuk membuka topik yang ringan dan menyenangkan untuk dibahas bersama Dion. Mereka akan menghabiskan waktu makan siang dengan menyenangkan dan bahagia. Namun, mood Anira sedang anjlok bahkan saat Dion sudah merelakan sedikit jam istirahat pria itu.

Saat pesanan sudah tersaji, Anira langsung makan tanpa banyak bicara. Meski tak seperti biasanya, Dion berusaha memahami bahwa mungkin saja Anira ingin makan siang ini lekas selesai dan tak menganggu aktivitasnya. Mereka makan dengan cepat hingga semua menu tandas tak bersisa.

"Kalau Kak Dion lagi gak jaga, kabarin Nira, ya. Kita jalan-jalan," pinta Nira saat mereka sudah selesai makan dan hendak keluar kafe itu. "Nira beneran lagi bosan dan suntuk."

Dion menguak pintu kaca itu dan mereka keluar bersama. Satu tangan Dion terulur mengusap lembut kepala Anira seraya tersenyum lembut. "Pasti. Kita bisa piknik kalau kamu sedang jenuh."

"Banget! Jenuh banget!" keluh Anira dengan senyum yang ia ukir malas-malasan. Hidupnya entah mengapa terasa sangat hambar, membosankan, menyebalkan, dengan satu rasa asing yang menyelundupi hatinya. Sialnya, rasa asing itu yang membuat Anira seperti ingin uring-uringan setiap hari.

Adegan mesra ala drama Korea atau novel roman picisan itu harus berhenti saat ada teriakan keras memanggil nama Anira. Dalam keterkejutan, mata Anira mencari titik asal suara dan seketika terbelalak saat mendapati Panji menatapnya nyalang dan tajam dari mobil pengantar nasi boks berlogo Senyum Pantura.

"Bang Panji." Tubuh Anira seketika gemetar ketakutan, seakan tertangkap basah berkhianat. Padahal, bukankah mereka memang sepakat menjalani kehidupan masing-masing? Kenapa Anira menjadi panik begitu?

"Kamu kenapa, Nira? Kok, mendadak pucat?" Dion melambaikan tangannya di depan wajah Nira. "Supir kamu kayak marah gitu? Dia memang galak begitu, ya?"

Panji melangkah mendekati mereka dengan langkah tegas dan terasa penuh emosi. "Masuk mobil, sekarang!" Wajah pria itu bahkan mengeras dan mampu membuat bulu kuduk Anira berdiri serentak. Gestur tubuh Panji yang tegap dan besar, berdiri di depan Anira dengan gaya mengintimidasi. Mata pria itu menyorot tajam penuh amarah dan sakit hati.

"Tolong yang lembut sama Nira, ya, Mas," tegur Dion tak kalah tegas. "Dia tidak bisa diperlakukan begitu."

Anira hanya menoleh sepintas pada Dion, lantas tersenyum pasi. "Nira duluan, ya, Kak. Sampai ketemu lagi."

Sesaat, Anira menatap wajah Panji yang masih merah padam dengan mata yang nyalang menyoroti dirinya. Ada rasa asing entah apa yang seketika Anira rasa, hingga dadanya terasa sesak dan matanya memanas. Lalu, istri Panji itu melangkah lunglai menuju satu taksi yang tengah menunggu penumpang. Ia membuka mobil sedan biru itu dan menangis di dalamnya, entah karena apa.

*****

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang