7

5.1K 933 95
                                    

7.

"Anira ..., bangun, Nira." Panji menggoyangkan pelan tubuh istrinya yang masih berada di dalam gulungan selimut kamar pengantin mereka. Padahal, sudah dari lima belas menit lalu pria itu selesai membersihkan diri dan berganti baju, tetapi Anira masih saja bergelung di balik gulungan selimut seperti kempompong besar.

Tubuh Anira tampak bergerak. "Nira laper, tapi kalo buka selimut takut Abang terkam."

Panji mengulum senyum. "Saya tidak sebuas itu. Ayo bangun, lalu makan." Tangan liat Panji membuka belitan selimut dengan paksa, hingga Anira mau tak mau terlepas dan bebas. "Kamu mau makan di hotel atau di luar? Saya pesankan steik hotel ini, mau? Kita bisa makan di balkon restoran."

Anira beranjak dari tidurnya seraya menggeleng kencang. "Enggak. Makan di luar saja. Kalau makan steik pake lilin di tengah meja, terus balkon, terus musik, endingnya Abang cium Nira. Udah ketebak. Semua sinetron jalan ceritanya sama." Tubuh Anira lantas beranjak dari ranjang, lalu menguak sedikit tirai demi melihat suasana di luar. "Kita makan pizza aja di sana. Pesenin Nira pizza dengan pinggiran keju yang banyak dagingnya."

"Oke," jawab Panji santai seraya mengangguk. Ia lantas beranjak menuju meja kaca kamar pengantin untuk mengambil dompet dan ponsel. Namun, pergerakan pria itu terhenti saat Anira memanggil namanya. Panji berbalik dan menatap Anira dengan wajah penuh tanya.

Mata Anira memindai penampilan Panji dari atas ke bawah, ke atas lagi, dan ke bawah lagi hingga tiga kali putaran. "Abang mau jalan sama Nira dengan pakaian seperti itu?" tanya Anira dengan wajah penuh penilaian dan binar mata meremehkan. "Bisa jatuhlah harga diri Nira nanti," lanjutnya seraya menggeleng tak habis pikir. "Itu sih baju buat orang yang mau beli terasi di pasar."

Panji hanya mengerjap santai tanpa sakit hati dengan ucapan istrinya. "Yang penting bawa uang buat bayar, dan tak sampai utang," jawabnya singkat yang telak memukul harga diri Anira. "Saya gak masalah kalau kamu pergi ke resto pizza itu dengan pakaian tidur kamu sekarang."

Anira yang mati kutu dijawab seperti itu, seketika memindai penampilannya sendiri. Ia melihat pantulan dirinya di cermin, lalu seketika beranjak mendekati koper dan mengambil dres sederhana. "Nira ganti baju dulu. Abang juga harus. Pake celana jins dan kaus kerah yang rapi," teriaknya seraya berjalan cepat menuju kamar mandi.

Anira tampaknya luput pada satu hal, jika mereka tadi pagi ke hotel itu menaiki mobil rombongan keluarga masing-masing. Panji tak membawa motor matik besarnya dan itu artinya tak ada kendaraan untuk mereka berdua.

"Jalan kaki?" Anira berteriak tak habis pikir saat Panji mengutarakan idenya. "Sampai sana, Nira udah keringetan terus pingsan! Kita gak ada persediaan obat kalau Nira tiba-tiba sakit karena lelah atau lapar."

Panji hanya melirik sekilas, lantas mengambil tangan Anira dan menggandengnya, saat pintu lift sudah terbuka dan mereka sampai di lobi utama. "Mau digendong? Tapi gak gratis. Saya juga gak bawa obat andai tulang saya pegal angkat badan kamu."

"Ogah!" Anira mencoba melepas kaitan tangan mereka, tetapi tak bisa karena Panji menggenggam erat.

Mereka berjalan dengan santai di trotoar sambil menyaksikan lalu lintas yang padat. Jakarta memang selalu begitu setiap waktu. Padat dan menjemukan. Bukan hanya di hari-hari kerja, akhir minggu seperti sekarang justru puncak kepadatan, karena banyak orang yang keluar rumah untuk berbagai tujuan.

Tanpa terasa mereka sampai di restoran pizza. Panji mempersilakan Anira memesan apa pun yang gadis itu inginkan dan mereka makan dalam diam. Ponsel Nira berdenting tanda pesan masuk. Tagihan baru yang akan jatuh tempo tiga hari lagi.

"Bang," panggil Anira seraya menyodorkan ponselnya yang tengah membuka lembar tagihan di surel. "Tiga hari lagi jatuh temponya," cicit gadis itu seraya mengunyah keju yang bisa memanjang jika ditarik.

After Payment DueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang