Bab 02 - Menumpang

Start from the beginning
                                    

Perhatiannya tertuju pada pemuda berkulit putih pucat. Memperhatikan lamat-lamat dari pangkal kepala hingga ujung kaki. Seakan pria itu bisa mengenal Joshua dalam sekejap.

"Nek, kemarikan saja barang nenek biar teman saya yang bawakan," ujar Joshua yang tanpa sadar mendapati lototan dari Hendra di belakang kepalanya.

Kemudian Joshua menuntun wanita tersebut menuju ke seberang jalan sana. Semantara Hendra menahan diri untuk tidak meledak-ledak lalu menyusul sembari menenteng dua plastik yang berisi buah-buahan segar.

"Terima kasih, Nak."

"Sama-sama Nek," jawab mereka berdua nyaris serempak.

"Terima kasih, sekali lagi," ujar pria itu. Joshua mengangguk, melemparkan senyum.

Sedangkan Hendra sudah lebih dulu menyebrangi jalan menuju sisi lain trotoar. Begitu Joshua berbalik badan, pria tersebut kembali bersuara.

"Tunggu dulu. Apa kamu dan temanmu butuh tumpangan? Kalau iya, kalian bisa pergi bersama kami."

Joshua tertegun. Mulai menimang baik kata-kata pria itu sambil melirik mobil pick up tepat di depan matanya. Di bagian belakang mobil itu terdapat bermacam-macam perabotan rumah.


Joshua dapat mengambil kesimpulan dua orang di hadapannya ini sedang ingin pindah rumah.

"Maaf Pak. Tapi saya dan teman saya bisa mencari angkutan lain."

"Nggak ... kamu jangan menolak begitu. Jadi terima saja ya?"

Joshua melirik pria itu dan wanita di sebelahnya bersedia melontarkan sambutan hangat.

Tidak ada akal lain untuk menolak, Joshua menyetujui dengan rasa terima kasih dan Hendra yang sudah di seberang mendengar sautan dari Joshua kembali bergegas mengemasi barang-barang.

"Tapi ... Pak, saya nggak tahu harus kemana. Kami hanya ingin tinggal di suatu tempat."

"Nggak masalah, kalian bisa tinggal di rumah kami. Lagipun kami juga mau ke sana buat mindahkan barang-barang di mobil."

Joshua menyaksikan antar dua orang itu sedang melirik satu sama lain, memberikan isyarat kemudian beralih padanya, tersenyum ramah.

Joshua dan Hendra duduk menyantai di belakang, untunglah masih memuat banyak ruang untuk tubuh mereka walaupun mereka harus rela berdampingan dengan barang-barang yang lain, penuh sesak.

Sinar yang menembus kulit mereka kali ini tak terasa, yang akhirnya terpaan-terpaan membawa mereka pada kesejukan alami.

"Aku nggak nyangka, selama kamu bekerja dua minggu ini, ujung-ujungnya kamu kena masalah terus sama Pakde." Hendra teringat bagaimana Marzuki memperingatkan Joshua tadi pagi.

"Bukan begitu. Kamu tahu kan, kalau Pakde nggak suka orang luar kayak aku bekerja? Itu aja bersyukur beliau mau terima, karena aku butuh uang." Joshua menekankan ucapannya.

Memalingkan kepala sambil melihat sekeliling jalan raya, bangunan-bangunan yang berjejer apik melambai setelah melintasinya.

Ketika memasuki perempatan, dia terkesima dengan sebuah tugu yang berdiri di tengah-tengah. Didominasi cat putih dan emas dengan corak-corak klasik hingga bagian ujung meruncing ke atas dengan warna yang senada namun terlihat berkelas.

Orang-orang sekitar menjulukinya sebagai Landmark-nya daerah istimewa Yogyakarta.

"Hendra ... apa nama bangunan itu?" Joshua menunjuk-nunjuk, sebelum bangunan itu melambai menjauh.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now