Bab 18

82 2 0
                                    


Srintil tampak bersemangat berjalan dengan pendekar gagah. Meskipun sesekali tampak berlari – lari kecil mengikuti langkah kaki Joko Nunggal yang panjang, ia seperti tidak merasa lelah. Hatinya tengah berbunga, berharap ada sedikit perhatian dari pendekar dari Seberang Lereng Pegunungan Menoreh tersebut.

Srintil tahu untuk saat ini duka dan mendung wajah Joko Nunggal yang kehilangan seseorang yang dicintainya masih membekas. Ia tidak memaksa diri, namun ia sabar, bila jodoh tidak akan ke mana. Joko Nunggal terus berjalan cepat menyusur pematang sawah, menembus belukar dari hutan cukup lebat di sisir jurang yang berada di sekitar kaki Merapi. Sesekali ia melihat sisa asap Merapi yang mulai membumbung menuju arah Selatan. Suara gelegar yang samar – samar sesekali terdengar, tapi mungkin lebih oleh guguran batu dari Merapi yang terdengar beberapa kilometer di bawahnya.

Merapi sudah lebih tenang, Maka Joko Nunggal disusul Srintil mencoba menyisir Merapi, memastikan keadaan aman dan penduduk sudah bisa kembali ke rumahnya. Bagaimanapun Merapi adalah rumah yang nyaman dari penduduk yang sudah terbiasa mendengar guguran lava dan pijaran api dari pucuk Merapi.

Sepanjang perjalanan, desa - desa yang dilaluinya sepi sunyi, seperti tidak berpenghuni, rumput, pepohonan penuh dengan debu, Daun kelapa, merunduk, dan hasil pertanian banyak yang tertimbun abu. Bencana sungguh menyesakkan. Bayangkan para petani dengan telaten, mengolah sawah, menanami padi dan kebun, menyiangi rumput liar, memberi pupuk namun ketika bencana melanda semuanya luluh lantak, tidak tersisa. Mungkin hanya serpihan luka bathin dan kepedihan dan air mata yang mengalir di pipi. Sementara para petani laki- laki hanya terbengong dan dengan dalam mengisap rokok agar lepas segala sedih dan nestapanya. Terbayang kerja keras yang sia – sia, namun alam tengah marah, Merapi tengah memperingatkan manusia durjana yang bermain- main dengan kehidupan.

"Kang, bisakah istirahat sejenak, kamu terlalu bersemangat sehingga berkilo – kilometer jalan yang kita lalui tanpa dilewatkan dengan berhenti sama sekali."

"Oh, maaf Srintil. Pikiranmu yang menuntun untuk bisa cepat- cepat mendekat Merapi."

Joko Nunggal lalu duduk di sisi pereng menghadap alur air sungai Apu yang masih kelihatan keruh. Srintil pun mendekat, duduk di sisi kanan Joko Nunggal. Kesunyian kembali membekap.Srintil berusaha mengatur nafasnya yang tampak mulai tersengal- sengal sedangkan Joko Nunggal tampaknya mulai merasakan kembali kehilangan orang yang dicintainya yaitu Sawitri. Dan ia sedang memikirkan bagaimana nasib anaknya.

"Maaf, ketika sunyi begini tampaknya kakang masih ingat istri kakang ya..."

Joko Nunggal hanya mengangguk. Matanya menerawang jauh larut dalam ingatan ketika pertama kali berjumpa Sawitri. Ia merasa bersalah meninggalkan keduanya saat Sawitri tengah mengandung. Namun sebagai pendekar yang sedang diutus menegakkan kebenaran ia harus menanggung resiko. Ia harus mempertanggungjawabkan pengetahuan dan keahliannya bela diri untuk menumpas kejahatan.

Ia sudah berjanji pada gurunya untuk mengabdi pada sesama, memberantas angkara murka, membantu mereka yang kesulitan. Segala resiko menyangkut kehidupan pribadi harus ditanggungnya.

"Srintil apakah kau tidak kepikiran untuk pulang ke daerah asalmu."

Yang diberi pertanyaan tampak kaget dan tidak siap menjawab.

"Ehm, apa pertanyaan kakang, a, a, aku tadi gak mendengar."

"Kamu lagi melamun ya..."

Kerling mata Srintil sempat mencuri pandang mata Joko Nunggal. Desiran jantung Srintil berdegup kencang tampaknya sehingga ia tampak grogi menjawab pertanyaan Joko Nunggal.

"Kamu tampak gugup, ada yang sedang kamu pikirkan."

Terus terang Srintil tidak malu menjawab, sebab ia memang sedang memikirkan dan membayangkan bagaimana jika ia menjadi kekasih Joko Nunggal.

Merapi Membara, Sambungan dari Bara Asmara di Kaki Pegunungan MenorehWhere stories live. Discover now