Way Back Home - Kite_Nh

102 9 0
                                    

Cerita ini ditulis oleh penulis Wattpad Stars Kite_Nh
Silakan kunjungi profilnya untuk menemukan cerita menarik lainnya.

***

Way Back Home
Oleh
Kite_Nh

Situasi sahur pertama terasa hangat, ada ibu, bapak dan kedua adikku. Kami berbagi tawa dan rasa bahagia. Semua kehangatan ini, adalah sesuatu yang aku tinggalkan selama bertahun-tahun, karena sebuah luka. Luka yang bahkan aku sendiri enggan untuk mencari obatnya, bertahun-tahun aku memeluk erat luka itu dan membuat diriku terus menerus tergores. Namun satu tahun yang lalu, diriku yang selalu melarikan diri, terpaksa untuk pulang.

Semua berawal saat aku dan ribuan karyawan lain menerima surat pemutusan hubungan kerja, karena situasi perusahaan tempatku menggantungkan hidup mengalami kesulitan finansial akibat pandemi yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Aku awalnya berusaha bertahan di kota ini, meski tanpa pekerjaan, hingga akhirnya aku memutuskan pulang karena keadaan yang semakin tidak menentu.

Pulang ke rumah, artinya aku harus berhadapan dengan semua rasa sakit yang selama bertahun-tahun ini aku tinggalkan di sana. Setiap lebaran, aku pasti pulang, tapi itu hanya beberapa hari kemudian aku akan pergi lagi. Namun, kali ini berbeda, aku pulang, mungkin juga terpaksa untuk menetap.

Setiap sudut rumah ini masih sama, masih juga dengan semua kenangan menyakitkan itu. Aku masih mengingat saat sebatang kayu mendarat di kepalaku, rasanya masih terasa sakit meski luka fisikku sudah tak meninggalkan bekas. Aku masih bisa merasakan dinginnya air yang mengguyur tubuhku, ketika aku sedang menangis dan diseret paksa ke kamar mandi di tengah malam yang dingin. Namun semua orang seolah lupa dengan semua kesakitanku, mereka menyambutku dengan senyuman hangat, seolah semua yang terjadi hanya ada dalam ingatanku.

Sehari-hari aku berusaha bersikap sebiasa mungkin, kemudian menangis diam-diam saat merasa sangat lelah. Setiap hari, luka yang berusaha kupendam, semakin tak bisa aku sembunyikan lagi. Terlebih saat tekanan demi tekanan, tentang pernikahan mulai muncul. Saat orang-orang yang tak diinginkan datang untuk meminang, dengan alasan usiaku yang sudah cukup matang, teman-teman sebayaku yang sudah memiliki anak dan alasan utamanya karena aku perempuan.

Aku perempuan, juga yang menjadi alasan semua luka yang terpaksa aku terima. Aku sempat berpikir, jika aku terlahir sebagai seorang laki-laki mungkin aku tak perlu melalui ini. Jika aku terlahir sebagai laki-laki, mungkin aku bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, tanpa stigma 'percuma sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di dapur ngurus anak.' Namun, karena aku perempuan, aku bahkan tak bisa menolak saat orang asing datang untuk melamarku, disaat usiaku masih sangat belia.

Jangan bayangkan, kehidupan perjodohan yang aku alami seindah cerita-cerita yang ada di platform novel daring. Bahkan mungkin kisahku lebih menyakitkan dari kisah Siti Nurbaya. Dia bukan sosok suami yang baik, dan saat aku ingin kembali pada keluargaku, mereka seolah tak menerimaku. Setiap hari aku mendengar caci makian, bahkan kadang sebuah pukulan seolah aku adalah manusia paling berdosa. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan semua luka itu, tapi seolah masih belum cukup Tuhan menghadapkan aku pada situasi yang serupa.

Malam itu, adalah ketiga kalinya aku menolak sebuah tawaran pernikahan. Bukan tanpa alasan, aku hanya tidak ingin mengambil keputusan yang salah lagi.

"Sebenarnya, kamu cari yang kaya apa lagi?" tanya ibuku yang terlihat emosi setelah mendengar penolakanku.

"Aku nggak tau, aku hanya belum ingin berumah tangga," jawabku seadanya.

"Kamu itu udah dewasa, udah saatnya. Mau sampai kapan kamu begini. Ibu tahu kamu trauma karena pernah gagal, tapi nggak semua laki-laki seperti itu. Coba kamu buka hati kamu!" kata ibuku penuh penekan.

"Iya, kamu nggak malu apa teman-teman kamu udah laku semua, udah punya anak. Bahkan mantan suami kamu juga udah menikah!" timpal Tanteku.

Semua yang selama beberapa bulan aku tahan, semua rasa sakit yang coba aku sembunyikan. Semua amarah yang aku pendam sendirian, bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja dan seperti saatnya sudah tiba.

"Pertama aku nggak malu, kedua aku bukan barang dagangan hingga aku harus laku! Aku manusia, aku punya perasaan dan aku berhak menentukan seperti apa aku harus hidup!"

Plakkkkk!

Pipiku terasa panas saat sebuah tangan mendarat dengan keras di pipi kananku. Air mataku mulai jatuh, tapi aku menolak untuk menangis. Aku tidak ingin memperlihatkan sisi lemahku sekarang. Aku menatap tajam ke arah pemilik tangan itu yang tak lain adalah nenekku sendiri.

"Aku, aku nggak pernah trauma karena mantan suamiku. Aku trauma dengan keluargaku sendiri! Aku trauma dengan semua yang kalian lakukan kepadaku."

"Yang dulu, ya, dulu, yang sekarang, ya, sekarang. Yang dulu biar berlalu!" ujar Tanteku seolah tanpa beban.

"Bagaimana bisa semua berlalu, sementara aku masih mengingat semuanya. Bahkan aku masih merasakan rasa sakit saat kepalaku dipukul dengan batang kayu pohon singkong. Aku merasakan dinginnya air yang ibu guyurkan ke tubuhku malam itu. Aku masih bisa mendengar jelas caci makian yang kalian lontarkan padaku—teriakku mengeluarkan semua yang aku pendam selama ini.

—kalian nggak tau kan? Atau mungkin kalian menutup mata, hidupku hancur! Hidupku berantakan. Apa kalian tahu seberapa banyak aku mencoba untuk mengambil nyawaku sendiri?"

Aku menunjukkan semua bekas luka yang aku dapatkan dari percobaan bunuh diri saat aku merasa benar-benar sangat lelah.

"Tapi, sebanyak apa pun aku menunjukkan semua lukaku, kalian juga tidak pedulikan? Tapi kalian juga harus tahu, apa pun yang terjadi padaku sekarang, semua karena kalian!"

Setelah mengatakan itu, aku masuk ke dalam kamarku dan mengurung diri. Berhari-hari aku dan keluargaku saling mendiamkan meski kami tinggal di bawah atap yang sama. Hingga saat aku menangis tengah malam, aku merasakan seseorang memelukku dan ikut menangis bersamaku.

"Maafin Ibu, Ibu tahu semua terjadi karena salah Ibu. Tolong jangan seperti ini, Ibu mohon. Ibu janji nggak akan memaksa kamu lagi, Ibu nggak akan mendengarkan kata orang lagi. Kita perbaiki ini sama-sama, ya!"

Aku tak bisa mengatakan apa pun untuk membalas kata-kata ibu. Aku hanya diam dan menangis, tapi kalimat sederhana yang ibu ucapkan mampu meluluhkan batu amarah yang selama ini tertancap di hatiku.

Mulai hari itu, perlahan hidupku mulai membaik. Hubunganku dan keluarga juga demikian. Meski luka itu masih belum aku lepas sepenuhnya, tapi aku mulai bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Aku juga mulai mencoba memaafkan semua pemberi rasa sakit itu, memaafkan semua kenangan buruk yang pernah terjadi dan yang paling utama aku mencoba memaafkan diriku sendiri yang terlalu tak berdaya saat itu.

Walaupun langkahku mungkin tidak panjang, aku mulai mengejar mimpi-mimpi yang sempat aku lupakan. Menata lagi hidupku yang sempat berantakan. Aku memang menyesali semua yang pernah terjadi, tapi aku juga bersyukur untuk semua luka itu. Karena luka itu, aku tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Hidupku saat ini mungkin jauh dari kata sempurna, atau juga masih tertatih untuk mengejar impianku, tapi sekarang aku berjanji untuk lebih bahagia. Lebih menghargai waktu yang aku miliki. Dan untuk diriku yang sudah bertahan selama ini, aku ucapkan terima kasih. 

Ramadan: Komunitas dan StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang