I Met You In The Ramadan - Sulizlovable

171 19 19
                                    

Cerita ini ditulis oleh Wattpad Stars Sulizlovable
Silakan kunjungi profilnya untuk menemukan cerita menarik lainnya.

***

I Met You In The Ramadan


Selama tiga puluh tahun aku masih diizinkan bernapas oleh Pemilik Alam Semesta, belum pernah kurasakan ketenangan batin yang sesungguhnya. Aku terlalu sibuk menghabiskan waktu di dunia yang penuh dengan keributan. Hidup di kota yang tidak pernah tidur, ternyata membuatku kesulitan merasakan makna ketenangan itu sendiri.

Keributan pada zaman dulu sungguh berbeda dengan sekarang. Kalau dulu, rasanya sangatlah menyenangkan. Kendati terganggu, aku cukup menikmatinya saat mendengar pekikan dan teriakan anak-anak yang kalah bermain petak umpet atau terjatuh karena tidak bisa menghindar dari kejaran teman lainnya. Keributan ibu-ibu yang memanggil anak-anaknya pulang dan mandi karena hari menjelang azan magrib, atau keributan bapak-bapak yang mengobrol sambil bermain catur di pos kamling.

Kini, ketenanganku terampas di ibukota. Pagi hari, aku sudah menatap kepulan asap yang berasal dari kuda besi di jalanan semrawut. Lalu menjelang sore, aku tak pernah absen menyaksikan aktivitas masyarakat urban yang sibuk dengan pikiran masing-masing sembari menatap layar ponsel. Sementara malamnya, terasa sulit untuk sekadar mendengarkan bunyi jangkrik di tengah kesunyian, semua sudah tergantikan oleh deruman kuda besi yang selalu menggema dan terasa akrab di telinga.

Pun gedung-gedung pencakar langit sudah mendominasi Kota Metropolitan yang kutinggali sejak kecil. Perlahan, kota ini menjadikanku manusia yang tidak paham arti bersyukur hingga menyisakan kekecewaan pada orang-orang di sekitarku. Tanpa sadar, aku selalu mencari kebahagian yang bahkan tidak kumengerti makna sesungguhnya.

Terkadang, hatiku terlalu lemah saat melihat sahabatku memiliki keluarga yang harmonis. Mereka yang mudah membaur di tempat asing dengan orang-orang baru, mereka yang beropini sesuka hati tanpa takut dikritik, mereka yang selalu tersenyum bahkan tanpa alasan, dan segala macam kelebihan yang kurasa ... aku tidak memilikinya.

"Ki, serius lo mau ke Bali?" Aku mengangguk mantap menjawab pertanyaan Rivka.

"Santai aja, Riv. Ini kan, bukan pertama kalinya gue ke Bali."

"Tapi, bukan naik pesawat. Are you for real?" Emeri memelotot aneh, seolah ia tidak percaya bahwa aku akan melakukan hal yang dipikirkannya itu.

"Sekali-kali gue mau kayak Rivka."

"Yah ... nanti kita enggak bisa buka puasa bersama dong!" Kini giliran Maura yang bersuara. Meskipun tampak kehilangan, ketiganya dengan baik mau membantuku berkemas.

"Sebelum lebaran gue pulang, kok."

"Serius, Ki? Gue masih enggak paham kenapa lo mau ngelakuin ini?" Emeri masih menuntut penjelasan, sementara tangan Rivka merangkul bahuku. Rivka selalu menjadi orang pertama yang memberikan kepercayaannya padaku.

"Gue mau mencari ketenangan sebentar. Jakarta terlalu bising, Gengs." Aku melemparkan senyum pada ketiga sahabatku. Maura dan Emeri ikut berhambur memelukku. Sesungguhnya aku tidak ingin membuat ketiganya khawatir, tetapi perjalanan ini bukan perjalanan biasa. Aku yakin dalam perjalanan nanti mampu membawaku ke luar dari sisiku yang selama ini terasa membosankan sebagai manusia. Dan yang pertama, aku ingin menjadi orang yang lebih baik.

Pagi harinya, kereta sudah tiba di stasiun Banyuwangi Baru. Aku merentangkan tangan, rasanya tubuhku rontok semua karena duduk selama 12 jam di dalam kereta. Aku mengambil ponsel demi memeriksa waktu sekaligus membuka peta daring. Setelah ini, aku akan pergi ke Pelabuhan Ketapang. Sambil memandang benda pipih di tangan, perlahan aku berjalan keluar stasiun. Tiba-tiba seorang lelaki menabrakku hingga membuatku jatuh terduduk. Ponselku terpental tidak jauh dari tempatku berada, ia membantu mengambilkan lalu memandangku dengan tatapan memelas. Orang itu kemudian melipat tangannya di dada yang ditujukan ke arahku.

Ramadan: Komunitas dan StarsDär berättelser lever. Upptäck nu