"Benarkah Liam adalah anak haram?"

"Asa!" Liam memeluk Asa dari samping dan menutup telinganya agar tidak mendengar cacian yang mengudara.

"Papa," Asa seperti ingin menangis, dia seolah sedang melihat kehancuran Papanya sendiri.

Namun, Liam tampak tidak mempedulikan itu. Beliau justru membawa Asa ke ruang kerjanya yang cukup tenang dan mendudukkannya di kursi kerja.

"Papaaaaaa," Asa memukul-mukul pahanya, dia sedang menyalahkan diri sendiri atas kehancuran perusahaan Papanya.

"Asa salah, Pah. Maafin Asa, Asa udah bikin perusahaan yang susah-susah Papa bangun--"

"Shttt!" Liam bersimpuh satu lutut di depan Asa, pria itu berusaha menghentikan Asa yang sedang memukuli diri sendiri.

"Asa! Asa! Dengerin Papa!" Liam mengunci tangan Asa yang mulai terisak. "Dengerin Papa, Nak!"

"Dengerin Papa! Shhttttt, nggak usah nangis, hm?" Liam mengusap air mata di pipi Asa yang mengalir dengan ibu jarinya.

"Ta-tapi, Pah--"

"Shhhhttttttt," Liam menepuk-nepuk punggung tangan Asa sambil menengadahkan wajah menatap sang putri. "Dengerin Papa!"

"Sebanyak apa uang yang Papa punya, setinggi apa jabatan yang Papa raih, dan sebesar apa perusahaan yang Papa bangun. Semuanya akan terasa percuma kalau kamu kenapa-napa, Sayang. Hm?"

"Papa sadar sekarang, kamu itu lebih penting dari segala-galanya, Asa. Jangan nyalahin diri sendiri ya?" Liam mengusap pipi Asa lembut.

"Papa yang salah, karena nggak pernah perhatiin kamu. Papa yang salah, karena nggak pernah nunjukin kasih sayang itu ke kamu. Maafin Papa, Asa. Papa terlalu gengsi nunjukin itu semua ke kamu, Maaf ya?"

Glek! Ngek! Sani mematung saat dirinya tak sengaja menghancurkan moment bosnya dengan sang putri, wanita itu tersenyum hingga sederet gigi rapinya terlihat.

"Maaf mengganggu, tapi ada hal mendesak yang ingin saya bicara." Sani membawa tablet yang entah berisi apa.

Liam dan Sani pun memasuki ruangan kaca kedap suara, mereka membicarakan sesuatu yang tidak bisa Asa dengar. Asa hanya dapat melihat Papanya yang tampak frustasi, kemudian mereka mengobrolkan sesuatu yang sangat serius.

"Ini bisa dijadikan pengalihan isu, Pak Liam. Bu Nisha juga sudah setuju, bahkan beliau yang menawarkan. Jika Asa dan Rey dijodohkan, Perusahaan LR dan Abraham Group akan segera bergabung, dengan begitu, saham perusahaan bisa terselamatkan...,"

Liam menggelengkan kepala. "Mengorbankan anak bukan jalan terbaik, Sani--"

"Asa hamil, Pak Liam. Berita itu sudah beredar seperti bom di masyarakat, kita harus segera bertindak agar citra perusahaan dapat dipertahankan."

"Saya paham, Pak Liam tidak mau mengorbankan Asa. Tapi jika dilihat dari sisi lain, ini juga menguntungkan untuk Asa. Selain perjodohan yang nantinya akan memperkuat kerja sama dua perusahaan, Asa juga akan memiliki suami yang sah untuk calon anaknya."

Sani menunjukkan tablet yang berisi grafik perusahaan. "Perusahaan cabang di Sanghai juga ikut kacau, berita ini bahkan sudah tersebar sampai sana. Kita tidak bisa tinggal diam, jika terus seperti ini, perusahaan bisa semakin jatuh, Pak."

Liam mengigit bibirnya dengan tangan mengepal menumpu pada meja kaca. "Tapi, Asa dan Rey? Mereka masih sekolah, dan Asa--"

Drrt! Telepon Liam berdering, ternyata dari Nisha.

"Kak Nisha, jangan korbankan perusahaan kamu demi saya--"

"Saya ingin membalas budi, Liam. Dulu, saya bisa membangun perusahaan ini juga karena bantuan dari kamu. Terima ya? Nggak boleh nolak."

DASA (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant