09 - Sudut Kelompok

Start from the beginning
                                    

Robbi jadi ikutan membalikkan badan ke meja belakang. "Halah, alasan. Gabung aja kali, gue juga pengin kenalan sama Gio. Lagian, bukannya lo kemarin bilang kalau lo cuma pernah sekali doang ya sekelompok sama Gio gara-gara lukisan? Masa gitu doang bosen," katanya pada Henry.

Ekspresi Henry langsung datar. "Sembarang lo, deh, Rob. Intinya Afi gabung kelompok kita," balasnya lalu memposisikan diri kembali menghadap ke papan tulis.

Afi menatap Gio. "Ayo, Gi, lo gabung kelompok sini aja!"

Tak mungkin Afi biarkan saja Gio sendirian mencari anggota kelompok, sementara akhir-akhir ini cowok itu memberikan banyak sekali bantuan. Afi bisa merasa tidak tahu diri jika menerima tawaran gabung kelompok mana pun tanpa memikirkan Gio yang merupakan teman sebangkunya.

"Ya sudah, demi lo aja gue mau gabung, Fi," balas Gio sambil melempar senyuman khasnya.

"Gombal!!!" sahut Henry dari depan.

* * *

Sepulang sekolah, keenam remaja itu langsung kerja kelompok di rumah Yura. Sebab tugas kali ini adalah membuat Power Point, jadi beberapa dari mereka ada yang pulang ke rumah sebentar untuk mengambil laptop, termasuk Afi yang diantar bolak-balik oleh Jefri.

Mereka berkumpul di ruang tamu Yura, membagi tugas setiap anggota dengan rata, dan mengerjakannya di laptop masing-masing. Namun, ada satu orang yang tidak memiliki laptop dan bingung harus melakukan apa, Gio orangnya.

Cowok itu hanya mampu menyengir tak berdosa saat tatapan tidak suka dari Yura, Heni, dan Henry dilontarkan kepadanya. Mata mereka seakan berkata, "Sudah dibilang, Gio itu nggak baik dijadikan temen sekelompok. Beban."

Afi menangkapnya.

Semakin jelas saja petunjuk yang menyatakan bahwa Gio dibenci oleh teman-teman kelasnya yang dulu dan bisa saja kebencian itu menyebar satu kelas, contohnya dimulai dari Heni.

"Nggak papa, gue ambil tugas lebih aja, nanti gue bagi sama Gio," celetuk Afi untuk mencairkan suasana. Cewek itu kontan menyalakan laptop dan mengajari Gio yang tidak bisa mengoperasikan Power Point sama sekali.

Afi kira, Gio adalah jenis remaja gagap teknologi yang susah untuk belajar pertama kali. Namun, dalam dua jam kerja kelompok, rupanya cowok itu terhitung sebagai orang yang cepat belajar. Tangannya lincah mengatur berbagai fitur di Power Point. Jangan lupakan juga bakat Gio yang membuat tampilan tiap slide terlihat amat kreatif. Selain jago gambar, Gio juga punya kemampuan memadukan warna. 

Cowok itu tertawa senang dan mengucapkan terima kasih ke Afi banyak kali karena menyelesaikan slide bagiannya dengan amat memancing mata. Dia pamerkan hasilnya ke teman-teman. Namun, yang terlihat bersemangat hanyalah Robbi, sisanya malah mengabaikan cowok itu.

Selesai kerja kelompok, Yura menyajikan beberapa camilan dan mengajak semua orang untuk bermain bersama, yakni truth or dare. Gio tidak diajak, karena dia pergi ke toilet sebentar.

Botol yang dijadikan alat permainan diputar hingga berhenti dan mengarah ke Afi. Mereka semua berseru ria dan menanyakan Afi memilih untuk menjawab pertanyaan dengan jujur atau melakukan tantangan.

"Gue pilih truth."

Henry, Heni, dan Yura langsung menoleh ke ruang tengah, memastikan Gio belum balik dari toilet.

Henry pun bertanya, "Sekarang lo masih risi duduk sama Gio?"

Dalam pikiran Afi menjawab tidak. Justru dia heran mengapa teman-teman Gio malah terlihat seolah menjauhi cowok itu.

"Enggak," jawab Afi to the point.

"Seriusan udah enggak? Bagi lo dia nggak nyebelin banget, gitu?" Yura bertanya.

"Enggak juga."

Tidak ada respons heboh apa pun, botol yang diletakkan di lantai diputar lagi hingga berhenti tepat ke orang yang baru saja kembali dari toilet.

"Gio! Truth or dare!" Heni tahu-tahu malah mengajak cowok itu bermain, padahal tadi dia tidak diajak dan ditinggalkan saja.

Gio mengangkat tangan. "Apa ini? Apa?!"

"Lo main!" jawab Yura.

"Loh, tadi katanya dia nggak usah diajak?" Robbi dengan polosnya bertanya.

"Truth or dare!" tegas Henry, mengabaikan pertanyaan teman sebangkunya.

Gio berusaha tenang dan tersenyum gembira. "Dare, lah, cemen banget kalau nggak berani dikasih tantangan. Gue, kan, anaknya nggak mageran kayak lo pada."

Gio secara tidak langsung menampar Heni, Yura, dan Henry, terbukti dari ekspresi wajah mereka yang semakin tidak suka. Yura pun masuk ke ruang keluarga dan kembali membawa gitar milik kakaknya.

"Mainin gitar ini, full, satu lagu!" tantang Yura.

Heni dan Henry tertawa terbahak-bahak. "Nggak bisa, kan, lo?"

"Jadi keinget jaman Gio nggak bisa main gitar di praktiknya Bu Andrina," tambah Yura yang ikut tertawa terbahak-bahak, jadi ikut menyudutkan Gio.

Mereka mencoba membuat Gio malu.

Jika ini adalah sebuah drama Korea, maka Afi dan Robbi adalah golongan orang yang ketinggalan episode pertama sampai episode lima. Mereka tidak paham dan hanya mampu plonga-plongo saja. Ada cerita di antara siswa X IPS 5 yang dulunya mereka tinggalkan. Sekarang Gio terlihat seperti disudutkan, tetapi cowok itu jago mengontrol ekspresi dan membuatnya terlihat malah semakin percaya diri.

Padahal, Afi sudah bisa menebak apa yang dirasakan Gio saat ini. Malu, merasa direndahkan, kesal, dan muak bergabung dengan kelompok mereka.

Gio menerima gitar Yura dengan santai dan bermain saja. "Eh, sorry, ya, siapa bilang gue masih gitu-gitu aja. Gue udah bisa main gitar kali!" Tangan cowok itu lincah memetik senar gitar dan mulai memainkan satu lagu.

Yura, Heni, dan Henry jadi terdiam sebentar. Tidak percaya dengan kecepatan Gio dalam belajar. Padahal ujian praktik memainkan alat musik di kelas X IPS 5 baru sebulan yang lalu.

Selesai memainkannya Gio tertawa dan menjulurkan lidah sebagai ejekan, kemudian mengembalikan gitar Yura.

"Eh, udahan yok, nggak asik," ajak Henry dengan ekspresi sebal, tidak suka bila orang yang mereka sudutkan malah semakin percaya diri. "Ayo pulang, udah sore!"

Afi dan Robbi serempak mengernyit.

Aneh.

"Ya udah, ayo!" sahut Gio yang juga merapikan buku-bukunya dengan tetap memasang senyum khas, seolah tidak tersinggung ataupun tidak merasa sudah mempermalukan balik teman-temannya. Dia menoleh ke Afi. "Fi, boleh minta nomor WA nggak? Nanti malam gue mau belajar presentasi sama lo."

"Nggak usah!" Heni menyela. "Lo nanti jadi operator aja."

"Gue, kan, cuma mau belajar, bukan berarti gue mau ngajuin diri jadi moderator beneran," balas Gio masih dengan senyuman yang malah membuat Heni semakin jengkel. "Boleh nggak, Fi?"

Afi mengangguk saja, langsung menerima ponsel Gio untuk mengetikkan nomornya. Gio semakin merasa menang di antara teman-temannya. 

= GIOFI =

GIOFI (Terbit)Where stories live. Discover now