02 - Rona, sang pembuka kisah

76 20 38
                                    

ⓥⓔⓧ

Jendela kayu dibuka perlahan oleh Rona. Matahari bersinar terik  pada jam 9 pagi. Mata Rona tak mampu terbuka lebar akibat belek yang menempel.

"Astaga, aku baru bangun."

Begitulah awal hari yang akan dilalui Rona. Entah ia akan langsung mandi atau lanjut merebahkan badan dan membuka WhatsApp. Tahun ini lebih sepi. Vibe-nya beda dan tak menyenangkan.

Tiga deret gorden jendela ditarik Rona dalam sekali sentak. Lingkaran-lingkaran besi saling bertabrakan. Suara itu bagai musik pembuka yang menghubungkan pandangan Rona kepada halaman depan rumah yang sunyi.

Sudah begitu lama, halaman yang dulunya luas tergantikan teras kayu yang melebar. Bayangan-bayangan Ghazi yang bermain bulu tangkis seketika berseliweran. Begitu pula bayangan dirinya yang duduk bersila sambil terperangah memerhatikan kelihaian pemuda itu.

Kala itu mereka masih anak-anak. Dan kala itu juga, Rona masih menganggap Ghazi sebagai sahabat yang selalu menolongnya.

"Mau coba?" Ghazi kecil tersenyum lebar, mengunjukkan raket kepada Rona.

Rona menatap Ghazi sepersekian detik, lalu menggeleng. "Aku nggak bisa main."

Si lelaki mengangkat alis. Jarinya melingkar pada pergelangan tangan Rona, menarik gadis itu berdiri. Raket biru dipindahkannya ke genggaman Rona.

"Tenang aja, aku ajarin sampai bisa!" ujar Ghazi, lebih bersemangat dari seseorang yang akan belajar.

Rona menoleh kepada Ghazi, menggenggam raket dengan kedua tangan. Waktu itu, Ghazi tersenyum meyakinkan. Senyum yang tanpa diduga malah membuat Rona remaja jatuh cinta kepadanya.

"RONA! MAKAN!"

Tubuh jangkung Rona tersentak. Ia mengacak kemudian menyisir rambut sebahunya sebelum keluar kamar. "Iya, Ma!"

Dalam perjalanan singkat menuju dapur--sekaligus ruang makan, Rona tak hentinya berpikir bagaimana ibunya bisa tahu kalau ia sudah bangun. Suara krasak-krusuk dan orang-orang berbicara dengan bahasa Dayak menyambut Rona. Keluarga besarnya sedang berkumpul, menyantap nasi kuning dan beberapa kudapan lainnya.

"Ron, itu ada nasi kuning sebungkus lagi untukmu," kata ibunya dengan dagu menunjuk ke tudung di atas meja makan.

Rona membuka bungkusan dan memakan nasi kuningnya dalam diam. Beberapa kali mengangguk ketika saudara-saudara sang ibu menggodanya. Salah satunya tentang Ghazi.

"Rona, nanti makan pisang sini! Tadi Ghazi, loh, yang ngantar," goda bibi yang paling bungsu, ini dia pemilik warung yang sering Rona poroti.

"Ghazi, nih. Cie-ciee." Para adik sepupunya menyahut.

Rona hanya tersenyum pahit. Ingin rasanya ia berteriak kalau Ghazi sudah punya pacar dan pacarnya adalah sahabat Rona sendiri. Namun, itu akan membuatnya tampak peduli kepada Ghazi.

Sehingga Rona mengubur niatnya dalam-dalam.

ⓥⓔⓧ

"Mereka bilang apa, Zi?" Rona yang saat itu baru kelas 2 SD memilin jari, menatap Ghazi dan teman-teman mereka bergantian.

Ghazi tertawa kecil. "Mereka cuma ngajak kita main. Kata mereka, masa kamu yang setahun sekali ke mari, nggak mau main?"

Satu dari sekian faktor yang mendukung kefasihan Rona berbahasa Dayak adalah Ghazi. Kebetulan, hanya Ghazi satu-satunya yang fasih berbahasa Indonesia di antara anak-anak kampung. Maka jadilah Ghazi yang selalu menemani Rona dan dengan senang hati menerjemahkan kalimat demi kalimat dari bahasa Dayak ke bahasa Indonesia.

Rona menerka alasan Ghazi mau bersusah payah seperti itu. Kesampingkan fakta kalau mereka hanya beda 11 hari dan telah saling mengenal dari umur 4 tahun--bahkan mungkin sedari mereka bayi. Pasti ada alasan yang lebih kuat dibanding persahabatan mereka.

Kemudian, hal itu terjawab ketika Ghazi mengungkapkan perasaannya.

"Rona, kamu tahu? Aku ... suka sama kamu."

Bunyi gesekan sandal Rona dengan jalan setapak sontak berhenti. Begitupun dengan kedua kakak sepupunya yang mengiringi mereka berdua. Rona membulatkan mata, menatap lurus kepada Ghazi yang sedari tadi mengekor tepat di belakangnya. "Hah? Apa?"

"Kamu nggak dengar? Aku bilang, aku su--"

Kakak sepupu Rona yang laki-laki lekas menutup mulut Ghazi. "Aduh, kok jadi gini?! Ghazi, aku kasih saran bukan yang kek gini. Kamu salah paham, ih!"

Seperti itulah, di kelas 3 SD, Rona menerima pernyataan suka pertama kalinya. Dari sahabat sekaligus penolongnya selama ini. Orang yang sebelumnya tak pernah ia duga, yaitu Ghazi.

ⓥⓔⓧ

Sedari saat itu, perlakuan Ghazi kepada Rona berubah. Sama seperti pandangan Rona kepada Ghazi. Dan pendapat seisi desa kepada mereka.

Rona semakin sering mendengar orang-orang mengaitkannya dengan Ghazi. Para anak-anak kampung juga menggoda, kadang mengoloknya. Sedangkan para gadis mulai iri kepadanya.

Tak ada satu hari pun Rona dan Ghazi tidak bertemu. Ketika Rona membaca buku di teras, Ghazi akan menepuk bahu dan menemaninya berjam-jam. Ada pula kalau Rona mengambil wudhu di samping langgar, Ghazi duduk di jendela kemudian menegurnya.

Belum lagi, Ghazi akan datang ke warung bibinya setelah salat tarawih. Sekadar untuk duduk tepat di hadapan Rona--yang cemberut setiap kali ia datang karena bakalan digoda habis-habisan. Hampir setiap malam ketika mereka bertemu, Ghazi akan mengakhirinya dengan rengekan, "Kapan kamu notis aku, Ron?". Dan kalimat itu terus terngiang hingga Rona terlelap di bawah selimutnya.

Ghazi yang tanpa lelah cari perhatian serta Rona yang tak jenuh bersikap dingin. Hubungan mereka segera menjadi buah bibir para penduduk, baik tua maupun muda. Di mana Rona duduk, akan ada seseorang bertanya tentang Ghazi kepadanya.

Hari-hari itu terasa menyebalkan, tapi menjadi berharga di kemudian hari. Sudah tujuh tahun semenjak Ghazi menyatakan perasaan. Namun, tak ada kemajuan di antara mereka.

Ghazi sudah mempunyai mantan sana-sini. Sedangkan Rona tidak mempunyai mantan sama sekali khas gadis mandiri dan gila belajar. Ketika Rona mulai merangkul perasaannya yang sesungguhnya, di situ jugalah Ghazi berpaling darinya.

ⓥⓔⓧ

Rona termenung di teras, menatap layar hitam ponselnya. Tengah hari yang sunyi, orang-orang terlelap dalam tidur siang mereka. Apakah Ghazi juga? Pikir Rona.

Ia menoleh ke kiri, memandang tepat ke jendela kamar Ghazi yang selama ini selalu berseberangan dengan kamarnya. Kadang ia melihat pemuda itu menyapanya di pagi hari. Kadang Ghazi sekadar menopang dagu menatap gemintang lalu setelahnya pandangan mereka bertemu. Namun, sekarang tak ada lagi. Mungkin tidak akan pernah ada lagi momen semacam itu.

Rona meremas ponselnya. Dari balik bingkai bulat kacamata, gadis itu menyembunyikan air matanya. Ia tak pernah secengeng ini tentang laki-laki. Ia tidak pernah memikirkan sebegini seringnya tentang seseorang.

Sepertinya Ghazi memang sedari dulu punya tempat spesial di hatinya. Hanya Rona yang terlalu bodoh untuk menyadari. Juga terlalu bodoh hingga Ghazi berpacaran dengan sahabatnya sendiri.

ⓥⓔⓧ

VEXWhere stories live. Discover now