Bab. 1 : 1. Just Do It

23 4 4
                                    

03 September, Year 17

Hachiiim!

Seorang laki-laki beringsut dari tempat tidurnya, tampak hidung mancung yang memerah. Ia mencoba membuka mata, kegelapan yang pasti menyambutnya.

"Ah, aku tidak seharusnya begini."

Selimut putih menutupi tubuhnya, tetapi udara dingin mampu mengenai kulit mulus itu.

"Yang benar saja, kenapa bisa sedingin ini, sih?!"

Jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.35, cahaya hijau kecil membentuk angka sedemikian rupa.

"AC tidak aktif, lalu apa--"

Sebelum kalimat itu selesai, angin kembali berembus masuk. Kerai bergoyang, jendela di seberang tempat tidur terbuka lebar.

Pemandangan kota dari lantai sepuluh sungguh menakjubkan. Langit kelam ditemani rembulan berdampingan dengan lautan kerlip lampu perkotaan.

"Pantas saja dingin, jendelanya tidak tertutup."

Kie menepuk jidatnya. Terjadi peningkatan pada suhu tubuhnya, kepala Kie terasa pening.

"Aku tidak membenci flu, tapi jangan datang pada saat seperti ini!"

Jari-jari kokoh Kie menutup jendela, ia sudah terserang flu karena terpapar hawa dingin sejak dua jam lalu.

Tenaga di kaki Kie melemah, angin dini hari terlampau dingin. Manik biru safirnya melirik skrip di tempat tidur.

"Bisa-bisanya aku lalai, terus saja kepikiran latihan," keluhnya.

Kelopak mata Kie berubah sayu, stamina dan keadaannya memang tidak stabil. Mudah terkena flu meskipun pemicunya adalah hal remeh.

Kie menyeret kakinya, ia perlu mengambil obat pereda demam secepatnya.

"Di mana kotak P3K?"

Beberapa langkah dari kamar, ia sampai di dapur. Kotak P3K seharusnya ada di sana, Kie ingat untuk menyimpannya dengan baik.

Gubraaak!

Tanpa sengaja, Kie menabrak kursi dan terjatuh. Ringisan kecil lolos dari bibirnya.

Apakah keberuntunganku hari ini berkurang? gumamnya sembari berusaha untuk berdiri.

"Aku menemukanmu," ucap Kie.

Laki-laki dengan rambut acak khas bangun tidur tersenyum tipis. Ia meminum beberapa obat yang diperlukan.

"Baiklah, aku harus tidur."

Akan tetapi, skrip drama di tempat tidur mengganggu. Kie melirik ke skrip, lalu membuang pandang.

"Tidak, aku tidak akan memikirkanmu untuk saat ini."

Cahaya hijau di nakas berkedip, angkanya telah berubah. Waktu terbit sang bola merah semakin dekat.

Kie mendekap erat selimut, bulir-bulir keringat dingin bermunculan. Obatnya telah bereaksi, raut wajah Kie tampak menderita.

Ia masih menahan rasa sakit itu meskipun dalam keadaan terlelap.

***

Ruang kelas bising, beberapa orang memindahkan meja dan beberapa orang berlalu-lalang untuk membantu.

Di kursi pojok, Kie sedang mengulang dialog peran yang didapatkan.

"Keenan! Kita latihan babak satu, ya!" teriak salah seorang temannya.

Journal of MemoryWhere stories live. Discover now