Bagian Dua

238 32 4
                                    

"Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu selalu membisu? Karena itu, katakanlah!"

***

Tiga bulan berlalu begitu cepat, cerita yang aku tulis sudah mencapai klimaksnya. Aku suka sekali jika membaca cerita yang penuh teka-teki daripada cerita romance. Ya, genre sejuta umat, aku bosan sekali, aku menginginkan sesuatu yang baru. Fusion antara genre romance dan thriller sepertinya menarik. Ya, aku akan mengubah sedikit cerita kemarin.

Menulis itu salah satu bentuk berekspresi. Saat di dunia nyata kamu tidak pernah sempat untuk menunjukkan ekspresi mu, kamu bisa menuliskannya. Dan, menulis tidak harus tentang cerita, buatlah buku diary, aku yakin pasti kalian akan merasa lebih ringan. Aku tahu, karena aku mencobanya.

"Yaya!"

Lamunanku buyar. Gadis cantik di depanku ini sudah menjadi temanku, mungkin(?).

"Ya, kenapa, Ren?" Namanya Renata Arkarna. Sudah dua bulan aku menjadi 'temannya'.

"Ayo, ke kantin! Ajak BoBoiBoy juga boleh," katanya. Dia menatap BoBoiBoy dengan tatapan, yang, uh ... aku tahu.

"Kamu duluan saja, aku nggak mood."

"Lo mah gitu. Jangan gitulah, pantes yang lain nggak mau ngajak Lo jalan," balas Rena. Gadis itu sepertinya marah denganku. Dan, apa peduliku tentangnya?

"Sudahlah, Ren. Aku nggak peduli pandangan mereka tentangku. Ini prinsip ku. Berteman denganku, ayo! Menjadi musuhku, ayo juga! Nyatanya, aku tidak peduli dengan keduanya." Rena terdiam. Dia menatapku penuh amarah. Cuma ingin memberi tahu, mata itu jujur. Saat kamu menatap mata seseorang, kamu akan melihat penilaiannya terhadap dirimu.

"Hilih .... Nggak usah sombong deh, Lo. Gue 'kan cuma ngajak Lo. Kok Lo gitu sih, apa salahnya coba? Gue pengen jadi temannya Lo. Kenapa sih, Lo selalu gitu?"

Ratu drama. Aku tahu dia begitu, tapi, lebih mengasyikkan bukan jika aku mengikuti alur permainannya. Hehe....

Suasana menjadi sedikit ramai. Ada beberapa anak kelas lain yang menatap kami.

"Oh, gitu, ya? Aku rasa, aku nggak butuh kamu tuh. Soalnya, kamu nggak guna," cibirku. Duh, mulut ini susah terkontrol jika aku marah. Karena itu, aku jarang berbicara.

"Jahat, Lo jahat banget, Yaya. Apa salah gue sih? Gue 'kan niatnya baik," ucap Rena. Matanya berkaca-kaca. Cih, bullshit!

"Wah! Wah! Ternyata Yaya itu busuk, ya."

"Gue kira, dia gadis baik baik."

"Nggak banget deh bicaranya. Nggak sopan."

Cih. Sampah-sampah itu, harus segera dibersihkan. Apa dia tidak mempunyai cermin untuk berkaca? Bukannya ucapannya sendiri selalu kasar dan tak bermoral. Dasar ular berwajah dua.

"Jangan buat aku lebih marah, Ren. Aku sudah sabar. Lebih baik, kamu keluar sekarang," tutur ku padanya.

"Yaya, Lo jangan gitu. Gue salah apa sih?"

"Sekali lagi, dan ini yang terakhir. Silahkan keluar, jangan ganggu saya lagi!"

"Yaya, apa salah gue? Gue 'kan selalu baik sama Lo."

"Salah Lo? Banyak!" Aku muak. Sesekali aku tunjukkan emosiku, tidak apa-apa bukan? Rena terdiam.

"Pertama, kamu deketin aku karena pengen dekat sama BoBoiBoy 'kan? Nggak usah munafik, aku tahu kok." Rena menatap gelisah.

"Kedua, kamu juga 'kan yang waktu itu sembunyikan flashdisk punyaku? Harusnya, waktu itu kelompok ku maju presentasi, tapi, karena semua file ada di aku dan flashdisk-nya hilang, kami jadi terkena hukuman."

Aku Menulis Ini Untukmu ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang