Bagian Satu

573 46 8
                                    

"Aku tidak tahu apa yang akan aku tulis; perasaanku kosong."

***

Halo! Aku hanya gadis sederhana dengan cita-cita yang tinggi. Saat tidak ada tempat untuk mengadu, aku akan membuat perasaanku menjadi sebuah kumpulan coretan kata, seperti sebelum-sebelumnya. Itulah aku.

Aku, kertas dan pena adalah sepasang sahabat. Walaupun tidak mendapatkan sebuah jawaban atas pertanyaan ku, tidak apa, itu lebih baik. Pena itu seperti alat untuk menerjemahkan apa yang aku rasa. Dan tulisan di kertas, adalah wujudnya.

Walaupun tanpa teman, bukan berarti aku merasa kesepian. Mulutku diam seribu bahasa, dan otakku berisik dengan sejuta kata. Kalimat-kalimat indah muncul bergantian dalam kepalaku. Tak jarang pula, antara hati dan pikiran beradu. Mereka jarang sekali memiliki pendapat yang sama.

Pikiranku yang terpaku pada logika, dan hati yang lebih terpaku oleh perasaan. Hingga tak jarang aku mengambil sebuah keputusan diantara keduanya.

Lagi-lagi aku hanya mampu berpikir dengan mulut tertutup rapat. Lagian, kelas ini masih sepi. Salahku berangkat terlalu pagi.

Arloji menunjukkan pukul 6.20, aku harus menunggu empat puluh menit lagi. Kapan mereka datang? Ah ... aku terlupa, untuk apa aku menunggunya? Mereka saja tidak melihat aku. Lupakan mereka, fokuskan apa tujuanmu!

Dan, sepertinya aku melupakan sesuatu, ya? Salam kenal, aku Yayana Restha. Aku berusia 15 tahun, dan duduk di bangku SMA kelas 10.

Aku bukan tipe orang yang banyak bicara, aku lebih suka berbicara lewat tulisan. Walaupun begitu, tak jarang aku memberikan perhatian pada mereka, yah, tentunya melalui sebuah media dan sebuah ketikan. Ingat, aku tidak banyak bicara.

Seorang memasuki kelas, kepala yang terbaring di meja langsung ku angkat; duduk tegak. Ah ... rupanya dia lelaki paling pendiam di kelas. Selalunya, dia berangkat lebih pagi dari ku, lalu entah apa yang ia lakukan. Yang aku tahu, dia sering mengenakan earphone.

Aku menatapnya yang berjalan menuju bangku. Dia terlihat tidak peduli, lalu seperti yang aku katakan tadi, dia langsung mengenakan earphone.

Mengendikkan bahu tak acuh, aku membenarkan posisi duduk. Benda persegi panjang di mejaku terus bergetar; banyak notifikasi masuk.

Aku tersenyum saat membaca semua notifikasi-notifikasi dari para pembacaku. Aku salah satu penulis di platform menulis online. Namaku cukup famous, walaupun dibandingkan dengan penulis-penulis besar aku masih kalah jauh. Ngomong-ngomong, aku menggunakan nama pena yang berbeda dengan nama asliku.

"Hihi ... kapan, ya, aku bisa memeluk semua karya ku," ucapku.

"Bisa minta tolong?"

Aku terbelalak melihat cowok itu di depanku. Sejak kapan dia di situ?

"A-anu ... ke-kenapa?"

"Tolong ajarkan saya materi membuat laporan. Saya belum paham, dan saya harap, kamu bisa membantu saya."

Elah buset, kaku bener bahasanya. Mungkin ini sebabnya dia tidak memiliki teman dekat, dia terlalu kaku.

"Boleh. Bagian mana yang kamu nggak paham?" Aku menatap buku tulis yang dia bawa. Wow, tulisannya rapi. Sejenak aku menatapnya. A-anu ... kenapa dia bisa setampan ini jika dilihat dari jarak dekat. Ya Allah ... kenapa aku baru sadar ada cogan di kelasku?

"Menyusun laporan dan membuat rangkumannya. Saya masih sedikit bingung, dan tugas kemarin juga belum saya kerjakan," jawabnya.

Aku memiringkan kepalanya dan berkedip tak percaya. Aku bisa mengobrol dengan Si Cowok Pendiam?

Aku Menulis Ini Untukmu ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang