"Tante namanya siapa?"

Aku terkejut mendengarnya. Anak ini bicara dan tanya siapa namaku. "Tante namanya Mita."
 
 
***
 
 
Gak lama setelah tragedi di meja makan tadi, aku dan Gavin akhirnya bermain bersama. Ya, akulah pemenangnya. Devan yang mati-matian berusaha memisahkanku dengan anaknya, akhirnya mengalah.

"Lo bisa juga ya akrab sama anak kecil." Kata Devan yang tiba-tiba muncul di belakangku.

"Seharusnya gue yang ngomong gitu ke elo." Jawabku judes.

Devan duduk disebelahku sambil membawa mangkuk makanan di tangannya. "Gavin, kamu makan dulu nih." Dia menyuapkan bubur itu ke Gavin.

"Kenapa gak pake babysitter?" Tanyaku.

"Gue itu jarang ketemu Gavin. Masa udah jarang ketemu, giliran kesini malah babysitter yang ngurusin dia."

Aku menatap Devan dan Gavin secara bergantian. Persis kayak iblis sama malaikat. Gavin memang duplikat Devan. Tapi Gavin versi malaikatnya. Mungkin ibunya berparas baik.

"Apaan lo liat liat?" Semburnya tiba-tiba membuatku kaget.

"Gak apa apa sih. Cuma ngerasa beda aja. Semoga aja dia besarnya gak kayak lo."

Devan meletakkan mangkuk makanan yang sudah habis dengan agak kasar. Mampus gue, pasti dia marah.

Dia mendekatkan tubuhnya ke arahku. Menatapku dengan tatapan yang bisa membuat hati para cewek luluh. Ini jauh lebih mengerikan. Bahkan kalau disuruh pilih, aku lebih pilih tatapannya yang jahat dibanding tatapannya yang sekarang.

"Kayak gue? Emang gue kenapa?" Ucapnya dengan senyuman menggoda. Aduh, jangan bilang dia lagi godain aku.

Aku berusaha tenang. Aku gak boleh nunjukkin kalo aku grogi. Harus stay cool. "Lo kan iblis." Kataku singkat, padat, jelas.

"Oh, gitu ya." Katanya sambil bangkit berdiri. Sebelum pergi dia menekan lembut kepalaku. Tuh kan, dia godain aku. Katyaaa, lo dimana? Abang lo rese nih.

"Eh, gue mau mandi bentar. Gue minta tolong jagain Gavin ya!" Teriaknya dari arah belakang.

Aku sedikit heran, kan ada pembantu. Kenapa harus aku? Tapi melihat wajah imut anak ini membuatku gak tega ninggalin dia sendiri. Gavin anaknya baik, penurut, dan gampang diatur. Aku yakin sifat itu menurun dari ibunya. Gak mungkin bapaknya. Cukup mukanya aja kayak Devan, sifatnya jangan.

Aku menemani Gavin bermain cukup lama. Nampaknya dia mulai lelah. Aku pun membaringkannya di pangkuanku dan membacakan buku cerita yang ada disitu. Gavin pun mulai tertidur. Disaat tertidur barulah Devan datang. Aku baru sadar dia mandinya lama banget. Lalu aku lihat rambutnya. Gak basah. Jangan-jangan dia cuma mau ngerjain aku.

"Gavin tidur ya? Ya udah, sini biar gue bawa ke kamar."

Aku sedikit kesal. "Gak usah! Biar gue aja yang bawa. Mau di kamar yang mana?"

"Sini, ikut gue." Jawabnya datar.

Aku mengikuti Devan sampai ke kamarnya. Meletakkan Gavin di atas tempat tidur. Aku bingung melihat sekeliling isi kamar. Ini kamar Devan? Isinya kosong, cuma tempat tidur doang. Tapi sudahlah, bodo amat. Aku mau nuntut alasannya kenapa dia mandi lama banget.

"Lo mandi kok lama banget sih? Mandi kembang?"

Devan seperti menggeram. "Lo kalau mau ngomong volumenya kecilin! Anak gue lagi tidur!"

Aku sontak menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku lupa kalau Gavin lagi tidur.

"Ayok, kalau mau ngomong diluar." Devan keluar dari kamar dan aku mengikutinya. Dia mengajakku ke teras belakang. Ada 2 cangkir kopi terletak di atas meja. Aduh, dia mau ngajak aku ngobrol atau mau introgasi?

"Duduk." Perintahnya. Aku pun duduk. Kami duduk bersampingan, hanya meja yang membatasi kami berdua. Aku gugup.

"Tadi gue abis mandi ada panggilan soal kerjaan mendadak. Jadi gue urus kerjaan dulu. Maaf ya, jadi ngerepotin lo."

Devan bilang maaf. Aku gak salah denger kan?

"Iya, gak apa apa kok. Lagi pula gue seneng sama anak lo." Ucapku jujur. Devan tersenyum. Senyumannya itu buat jantungku makin gak karuan. Ya ampun Mita, masa ngeliat dia senyum aja lo sampe kek gini sih.

Suasana menjadi hening. Devan balik lagi masang tampang setan-nya membuatku jadi gak berani ngomong apa-apa lagi. Takut salah ngomong.

Devan berdehem. "Jadi emang lo akrab banget ya sama keluarga gue?"

"Iya. Keluarga Katya udah gue anggap keluarga gue juga. Katya, Kak Windy, Ayah, Bunda...."

"Gue?"

Aku terdiam. Aku bingung, haruskah dia kuanggap sebagai keluarga juga?

"Entahlah. Apa perlu sekarang gue manggil lo Kak Devan?"

Devan tertawa ringan kemudian menggeleng. "I don't think so. Umur kita memang lumayan jauh sih. Tapi gue lebih suka sifat lo yang kurang ajar."

"Makasih Pak Devan atas pujiannya!" Kataku ketus. Memangnya sifatku kurang ajar banget ya?

"Oh iya, itu tadi emang kamarnya Gavin atau kamar lo?" Tanyaku mencoba mencari topik obrolan yang aman.

"Kamar gue. Kenapa?"

"Kok isinya cuma tempat tidur doang?"

"Minggu depan gue tinggal di apartment, gak disini lagi. Jadi semua barang gue udah dibawa kesana."

"Oh." Jawabku singkat. Dia gak tinggal disini lagi. Kemungkinan besar aku gak akan sering ketemu dia lagi. Tapi kenapa aku jadi sedih gini? Seharusnya aku senang dong.
 
 
***
 
 
Walaupun saling lempar ejek, tapi aku menikmati obrolan kali ini. Devan sifatnya suka berubah-ubah. Kadang senyum, kadang kayak setan. Tapi yang jelas Devan gak seburuk yang kukira.

"Katya kok lama banget ya?" Gumamku sambil beranjak masuk dari teras belakang.

"Katya gak pulang hari ini. Dia nginep di rumah temennya." Ujar Devan.

"Apa?! Kenapa lo gak bilang dari tadi?!" Emosiku membara. Sedangkan dia terus berjalan sambil tertawa puas. Mau dia apa sih?

Hold Me CloserOn viuen les histories. Descobreix ara