6

133 32 2
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

        "Udah di mana?"

        "Bentar lagi OTW."

        Enji menyalakan speaker kemudian meletakkan ponselnya di atas kulkas. Ada hal penting yang harus dia urus; paha ayamnya sudah matang dan demi kemaslahatan bersama agar tak terjadi kegosongan yang menimbulkan kerugian, dia harus mengangkat lalu mengeringkan si montok itu supaya minyaknya luruh.

       "Gila, dari tadi belum kelar juga?!"

        Sambil berkacak pinggang, Enji memandang dapur yang berantakan. Sederet loyang berisi tepung dan berbagai macam bumbu memenuhi meja. Di tengah-tengah kekacauan tersebut terdapat tumpukan kotak ayam yang baru saja selesai dia kemas.

         "Ini hampir kelar. Nanti kalau udah nyampe gue kabarin."

         Jika teleponnya tak segera dimatikan, Pai pasti mengomel panjang lebar. Enji butuh ketenangan agar pekerjaannya segera selesai.

         Untuk ukuran pesanan dadakan, menyajikan lima belas kotak ayam dalam kurun waktu kurang dari satu jam sudah termasuk cepat, terlebih dia mengerjakan semua ini sendirian. Jika satu kotak saja berisi 7 potong sayap, berarti dia telah memasak, menggoreng, dan membumbui 105 ayam. Pai harusnya bersyukur dia mau menerima pesanan ini!

         Atau lebih tepatnya, Enji yang kudu bersyukur diberikan rejeki meski melalui cara super mendadak begini.

        Kurang mendadak apa lagi coba, Pai memesan itu semua siang bolong saat dirinya hendak rebahan meratapi nasib sebagai manusia semi pengangguran. Jadilah Enji nekat ngebut menerobos jalanan dan pergi ke pasar untuk beli ayam mentah karena nggak memiliki persediaan.

         Enji baru dalam dunia perkulineran. Baru dua minggu setelah kantor tempatnya bekerja melakukan pengurangan karyawan besar-besaran dan dia adalah salah satu yang dirumahkan. Hidup sendirian, apalagi di tengah gencatan ibu kota yang keras, memaksanya buat nggak mudah menyerah-kecuali dia mau luntang-luntung jadi gelandangan. Enji mencari cara agar tetap menghasilkan uang. Oleh karena itu, selagi menunggu panggilan interview, dirinya nekat membuka usaha korean fried chicken.

        Percobaan pertama memang nggak berjalan lancar. Padahal Enji sudah menawarkan ke sana-kemari, bahkan menebalkan muka menghubungi satu per satu temannya untuk promosi, tapi ayam goreng itu nggak laku banyak. Sehari hanya terjual satu atau dua kotak. Wajar saja dia kaget ketika tahu Pai memesan sebanyak lima belas kotak.

        Selepas berganti pakaian, Enji segera menuju apartemen Pai. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu sampai mengusap peluh kala dihadapatkan dengan kepadatan jalan raya. Bukan macetnya yang bikin Enji emosi, melainkan pemandangan orang-orang baru pulang dari kantor yang membuatnya iri. Seenggaknya jika bekerja kantoran dia punya gaji tetap. Berbeda dengan sekarang. Sebulan belum tentu mencapai target. Bila begini terus, bisa-bisa dia kesulitan mengirim uang ke keluarganya di Solo.

Mix & MatchWhere stories live. Discover now