3

233 55 18
                                    

***

Saking sepinya rumah keluarga Wirawan, suara jarum jam saja terdengar sampai luar. Setiap detiknya memacu jantung Ajun berdetak lebih cepat. Sudah hampir satu jam dan Pak Bambang belum berbicara. Hanya berjalan mondar-mandir seperti tamiya milik Ajun.

Demi mendistraksi diri supaya nggak mati di tempat, Ajun diam-diam membuka ponselnya yang sejak tadi terus bergetar-getar dalam kantung celana—membuat isinya ikut bergetar dan itu sama sekali nggak nyaman.

Ucan menjadi penyebab ramainya grup WhatsApp dengan nama Beban Keluarga itu. Seperti yang sudah-sudah, dia merengek minta menginap di rumah salah satu dari mereka. Nggak ada yang keberatan sebenarnya. Tapi karena Ucan pakai minta izin segala (beda dari Bobby yang hobi nyelonong dan merasa rumah teman-temannya adalah rumahnya sendiri) yang lain jadi tertarik menjahili.

Sebagai yang paling kecil—mereka lahirnya cuma beda beberapa bulan—cara mereka memperlakukan seolah-olah Ucan tak ubahnya seorang bocah umur enam tahun. Hal ini membuat Ucan sering sensi. Ucan nggak sadar justru kesensiannya lah yang teman-teman cari. Makin ngambek dia, makin senang mereka. Kalau saja dirinya sedang nggak dalam kondisi hendak dieksekusi, Ajun pasti ikut meramaikan grup tersebut.

Ajun keasyikan main ponsel sampai nggak ngeh kalau Pak Bambang sudah duduk dan mengamatinya dengan tatapan sangat tajam. Pak Bambang sengaja berdeham keras, mengejutkan Ajun. "Tadi siang Papa dapat telepon dari wali kelasmu," kata beliau tanpa basa-basi.

"Oh ya?" Ajun garuk-garuk kepala sambil cengengesan, "wali kelas Ajun emang baik, Pa. Suka silaturahim sama wali murid. Hari ini pasti giliran Papa, makanya ditelepon. Semoga kalian bisa berteman dekat, ya."

"Berteman dekat, gundulmu. Gurumu telepon buat laporan!" sentakan Pak Bambang diikuti kumis naik turun, kesal lihat tampang Ajun.

"Kamu bodohnya nurun siapa, sih?" Pertanyaan ini sudah sering Ajun dengar, jadi Ajun sekarang mengerti alasan mengapa dia dieksekusi. Apalagi kalau bukan gara-gara nilai. "Masa setiap tahun Papa harus ngemis-ngemis supaya kamu naik kelas?"

Ajun menghela napas pendek seraya menyenderkan tubuh pada sandaran sofa. Energinya terserap. Dia baru sempat mandi dan ganti baju, belum makan malam. Omelan papanya nggak mungkin hanya sejam atau dua jam, pasti lama.

Pernah saking nggak sanggupnya dimarahi dia nekat pura-pura pingsan. Memang sih, Pak Bambang berhenti marah-marah. Beliau dengan perhatian menepuk-nepuk pipinya, membuat dia terharu merasa diperhatikan. Tapi setelah perut dan hidungnya sengaja diolesi Hot Cream, Ajun jadi sadar papanya nggak gampang ditipu. Selepas kejadian itu dia memilih pasrah tiap kali dieksekusi.

"Papa stress lihat nilai kamu. Semuanya jelek! Nggak ada yang bagus! Kalau Papa suruh belajar kamu belajar nggak?!" Emosi Pak Bambang meletup-letup seperti popcorn dalam lagu Heavy Rotation milik JKT48. Untuk mengurangi rasa tertekan, Ajun mencoba membayangkan beliau sebagai Melody, namun gagal. Melody nggak kumisan, plus bau rheumason.

"Belajar, Pa. Ajun belajar." Cowok beralis tebal itu berusaha tenang. Kalau ikut marah, bisa-bisa papanya akan main tangan.

"Terus kenapa dapat nilainya cuma segitu?" Pak Bambang berkacak pinggang. Di bawah sinar lampu, kepalanya yang pitak pada bagian tengah memancarkan kilap. "Tanya sama nenekmu, nilai-nilai Papa dulu selalu lebih dari delapan! Nggak pernah nyentuh angka lima dan enam kayak kamu!"

"Mana Ajun tahu? Yang ngasih nilai kan gurunya," kata Ajun.

Yang pengin ngerasain dapat nilai bagus bukan cuma papanya aja, dia juga. Masa dari SD sampai sekarang nilainya kalau nggak lima, enam, ya mentok empat setengah. Padahal sudah belajar semalaman, sampai pernah nyoba minum ramuan pintar, tapi nggak ada kemajuan. Besoknya tetap kesulitan mengerjakan soal. Entah yang bermasalah bagian mana, kayaknya memang dia punya otak nggak bisa disandingkan sama otak normal milik orang lain.

Mix & MatchWhere stories live. Discover now