5

163 40 6
                                    

aku update dgn kecepatan Cheetah🌼🌻



***

Ajun dapat bernapas lega.

Mereka tiba tepat sebelum gerbang ditutup, dan berkat mulut manis Dika yang berjanji akan introspeksi diri biar nggak terlambat lagi (Bobby melirihkan kata pret saat Dika mengumbar kalimat bulsyit ini) pak satpam pun memberikan kompensasi.

Tetapi kelegaan itu nggak bertahan lama. Baru menaruh pantat di kursi, guru matematika memberi informasi bahwa hari ini akan diadakan ulangan untuk evaluasi terakhir dari materi minggu kemarin. Seisi kelas langsung mengeluh riuh.

Kendati guru itu mengatakan hanya ada dua soal dan semuanya mudah, nyawa Ajun tetap terasa ditarik lepas.

Dua soal kalau beranak-pinak mah sama aja!

Ajun menilik sekitar. Mereka diberikan waktu satu jam untuk belajar. Dilihatnya teman-teman sedang khusyuk memahami catatan. Begitu juga dengan Iyo. Ajun menelan ludah, mencoba membuka buku catatannya sendiri. Sudah satu semester berjalan, buku tersebut masih bersih. Salinan materinya hanya sedikit, selembar ditulis sebaris-dua baris, sisanya ramai oleh gambar yang dia buat karena iseng dan bosan.

Sejatinya Ajun bukan nggak suka belajar, tetapi materi yang rumit dan metode mengajar yang kurang tepat membuatnya kesulitan. Belum lagi, dia juga menyadari fokusnya suka lari-lari, alias gampang terdistraksi. Makin sulit lah dia menyeimbangi yang lain. Ajun tahu seharusnya dia nggak boleh menyerah secepat ini, namun ambisinya sudah terlanjur ketutupan rasa malas. Jadi kalau guru memberi penjelasan, dia memilih nggak memperhatikan.

Tenang, Jun, manusia bego di kelas ini bukan lo doang, kok, batinnya berkali-kali menenangkan diri.

Saat lembar soal dibagikan, kepala Ajun mendadak keliyengan. Melihat angkanya saja sudah angkat bendera putih; menyerah. Hal ini sering terjadi hingga membuatnya kerap bertanya-tanya, apa sebenarnya dia memiliki alergi khusus kepada matematika dan deretan angka? Ajun pernah baca, katanya ada alergi semacam itu. Tapi mengingat matematika adalah musuh sebagian besar pelajar, Ajun nggak yakin dirinya alergi. Memang dasar, pelajarannya saja yang bikin mumet kepala.

"Lima belas menit lagi."

Ajun berasa ikut Masterchef. Belum selesai dia platting, Chef Marinka sudah sibuk membahas waktu.

Kegugupan Ajun tambah menjadi-jadi. Rasanya makanan yang dia telan semalam memenuhi rongga dada lalu naik sampai batas kerongkongan hingga membuatnya mual serta ingin muntah.

Ajun menoleh ke Iyo, bermaksud meminta contekan. Bangku mereka depan belakang, hanya beda sisi. Iyo depan sisi kanan, Ajun belakang sisi kiri. Tinggal mendorong kursi untuk berkomunikasi. Akan tetapi, Ajun kesulitan bergerak. Tubuhnya terpaku dengan mulut terkunci. Dia berada dalam kondisi tersebut selama beberapa menit.

Sementara waktu terus berjalan. Belum ada satu pun jawaban yang Ajun tulis. Gimana mau jawab kalau berpikir saja nggak bisa? Lebih dari itu, dengan kondisi seperti ini, dia serasa mau mati.

"Kurang lima menit. Bagi yang sudah selesai, bisa dikumpulkan sekarang."

Satu per satu beranjak dari tempat duduk, mengumpulkan ke depan. Ajun semakin panik. Bukan empat, lima, atau enam, kali ini bisa-bisa nilainya malah kosong.

Di tengah kekalutan tersebut, Iyo memberikannya lembaran yang tak dia ketahui isinya apa.

"Buruan salin," kata Iyo pelan sekali, nyaris nggak bersuara.

Mix & MatchWhere stories live. Discover now