dream about forever | ksj

67 6 5
                                    

[ check media before reading ]

&&&

I just realized how vain it was to dream about forever.

Dulu rasanya selamanya itu sederhana. Selama lo belum mati, ya itu termasuk selamanya. Dulu gue pikir kematian adalah akhir dari selamanya. Bilang "kita sama-sama selamanya ya" kayak udah keren banget gitu, seolah itu adalah janji yang bikin perasaan yang kita rasa jadi kekal.

Tapi setelah dipikir-pikir, dengan konsep gue tentang selamanya itu, menjanjikan "selamanya" itu agak egois. "Selamanya" gue belum tentu "selamanya" bagi orang yang gue sayang. Belum tentu dengan berjanji memberikan selamanya gue pada orang lain, gue bisa juga menjamin keberadaan gue di selamanya dia. Keduanya justru bertolak belakang. Kalau bagi gue selamanya, bagi dia berarti bukan, dan sebaliknya. Selamanya itu hanya konstruk. Sebenarnya selamanya itu nggak nyata. Hanya khayalan orang-orang yang belum siap menerima kenyataan kalau semua hal pasti punya akhir.

Ini pendapat gue. Kayaknya sih masuk akal, atau mungkin ini cuma gue being dramatic gara-gara harus melepaskan janji tentang selamanya yang dulu gue pegang erat.

Karena gue udah mati.

Nggak. Gue bukan lagi bermetafora. Secara harfiah, gue udah mati. Meninggal. Wafat. Tewas. Bergelar almarhum di depan nama gue.

Siapa sangka alat transportasi yang katanya paling aman justru mengakhiri hidup gue? Padahal gue cuma mau datang ke wisuda pacar gue, merayakan pencapaian dia, sekaligus ketemuan setelah sekian lama nggak ketemu karena gue lagi pengabdian jauh di pulau seberang. Sekarang gue malah harus 'mengabdi' lebih jauh lagi.

Gue sadar "selamanya" gue sudah berakhir, dan gue harus pergi, meninggalkan semuanya tanpa membawa satu apapun dari dunia--kecuali amal dan dosa gue mungkin. Tapi tetap aja masih ada satu hal yang gue sesalkan; gue gagal jadi selamanya buat dia. Padahal kami berjanji kami akan menjadi yang terakhir bagi satu sama lain.

I broke our promise.

Penyesalan itu yang bikin gue masih ada di sini, merhatiin dia yang nggak bergerak dari tempatnya selama lima menit terakhir, matanya merah dan nyalang menatap gundukan di tanah basah dan papan kayu bertuliskan nama gue. Gue ingin sekali merangkul dia, mengusap kepala dia, membisikkan kalimat-kalimat penenang buat dia. Tapi dengan kondisi gue sekarang, kayaknya itu cuma bakal memperburuk suasana. Jadi gue duduk di seberang dia, terpisah oleh sebidang tanah tempat potongan tubuh gue dikubur.

You read it right; potongan. Lo bayangin aja jatuh dari ketinggian ribuan kaki--stop. Gue nggak mau cerita.

"Aku minta maaf, Jin."

Sial.

Ini yang gue nggak suka. Gue nggak mau dia nyalahin diri dia atas kematian gue. Gue meninggal karena udah waktunya. Bukan karena dia. Gue tahu one way or another, kalaupun gue nggak naik pesawat itu, kalaupun gue bukan lagi dalam perjalanan untuk ketemu dia, gue akan tetap meninggal di waktu yang sama. Memang sudah suratannya.

"Aku minta maaf. Aku tau kamu nggak mau aku nyalahin diri aku tapi aku tetep menyesal," gue ingin dia berhenti tapi gue nggak bisa apa-apa selain mendengarkan. "aku menyesali fakta bahwa kamu nggak ada lagi di sini. Aku menyesal karena aku nggak ada di samping kamu saat kamu meregang nyawa--aku nggak sanggup ngebayangin setakut apa kamu waktu itu, sesakit apa rasanya, dan aku menyesal aku nggak sama kamu saat itu."

No. Ngomong apa kamu. Aku bersyukur kamu nggak ada sama aku waktu itu.

"Kita janji kan bakal jadi yang terakhir buat satu sama lain? Padahal aku udah yakin banget kita bakal sama-sama sampai tua, holding each other in our death bed. Tapi ternyata..."

dream about forever | bts oneshotsUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum