WHITE ROOM SYNDROME

Mulai dari awal
                                    

Lalu pernah nggak kalian baca salah satu adegan romantis di dalam novel di latar yang sebelumnya dibilang: trotoar, tapi pas mereka pelukan, kagak ada yang tereak acan. Padahal mereka pelukan di jam sibuk, bukan di tengah malam. Logikanya, trotoar bakalan penuh sama orang, minimal ada orang yang bakal ngeganggu mereka pelukanlah. 

Tapi kenyataannya, mereka seperti ada di ruang kosong yang tdiak berpenghuni sama sekali. Dunia serasa milik berdua, dalam artian yang benar-benar harfiah sekarang. Nggak terasa romantis lagi.

-

Q: Penyebabnya apa?

Sekali lagi, nggak ada teori saklek soal ini, tapi aya berasumsi kalau penyebab dari white syndrome ini adalah: 

1. Keasikan sama Adegan

Hayo, pernah nggak kalian lagi seru bikin adegan, lalu pas swasunting, sadar kalau posisi barang di berpindah dari tempat yang seharusnya? Atau seperti yang saya jelaskan di atas, adegan terjadi di tempat ramai, tapi tidak ada penjelasan seramai apa dan malah seolah tidak ada orang di sana selain dua tokoh utama kita.

Nah itu namanya kalian keasikan sama adegan. Solusinya apa?

Swasunting adegan itu. Buat latar yang solid, kalau perlu bikin catatan dan peta soal setting kalian. Ada author yang niat banget bikin denah rumah tokoh utama cuma biar dia nggak ketuker-tuker lagi pas nerangin kamar si A sama kamar si B. 

Yeah, kerangka dan coretan-coretan kecil itu emang penting pake banget.

2. Lupa kalau Karakter punya Indera 

Jika pun karakter kalian menderita difabel misalnya, sampai kehilangan salah satu indera, bukan berarti dia tidak bisa merasakan dengan hati, kan? Nah, buatlah suasana itu. Jangan lupakan kalau karakter kalian itu bukan boneka kertas. Karakter kalian itu hidup dan punya panca indera, punya pikiran, dan punya perasaan. Bikin mereka empati, jatuh, 

3. Terlalu Terlarut sama Suasana

Ini masih ada hubungan dengan yang pertama. 

Ada pengarang yang bisaaaa banget bikin suasana yang bikin pembaca baper sampai terhanyut-hanyut dalam kehaluan maksimal. Tapi, bagi pembaca yang tetap menjaga logikanya, adegan itu punya lubang yang nyata: reaksi dari latar tempat mereka berada.

Pelukan di saat hujan terdengar romantis, tapi emang besoknya kagak sakit atau minimal meriang? Kalau pelukannya di tengah jalan, apa kagak diliatin orang? Ngomel-ngomel di tengah koridor sekolah, apa nggak bakal narik perhatian guru BK yang biasanya ruangannya emang diletkakan di tengah-tengah koridor untuk memantau tingkah laku murid-murid? Dipanggil ke ruang guru, terus keluar dalam keadaan baik-baik saja, apa nggak bakal ditanyain? 

Pelukan di saat hujan terdengar romantis, tapi emang besoknya kagak sakit atau minimal meriang? Kalau pelukannya di tengah jalan, apa kagak diliatin orang? Ngomel-ngomel di tengah koridor sekolah, apa nggak bakal narik perhatian guru BK yang biasa...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bro dan Sis, ada tukang bakso nyasar ke ruang guru aja bakal diliatin anak-anak sekampung, apalagi kalau sambil bawa bakso sama teh botol dingin di jam mau istirahat. Beuh, parah itu ngilernya. 

Nah, karena ada adegan penting di luar latar, seringkali reaksi dari orang-orang sekitar sini diabaikan. Menjadikan dunia kalian seolah sesempit sebuah ruangan yang sepi tanpa ada seorang pun selain dua tokoh kalian. Sering kali tokoh ketiga yang jadi penonton malah nggak diberikan reaksi yang pantas. 

Hayo, ngaku, siapa yang sering kelupaan kalau udah kebawa suasana?

-

Q: Lalu Solusinya apa untuk mengatasi Sindrom ini?

Solusinya? Hm ... karena saya makhluk yang suka nyari masalah dan bukannya solusi, agak sulit buat jawab pertanyaan satu ini. Tapi yang biasanya saya lakukan saat menemukan white room di naskah saya pas swasunting adalah: 

1. Buat adegan efektif dan efisien sehingga nggak makan porsi latar cerita

Seorang editor naskah yang baik adalah yang mau merusak naskahnya sendiri demi manfaat yang lebih besar. Siapa, sih pengarang yang nggak mau karyanya diterbitkan? Tapi kepentok jumlah halaman? Yah, disitulah kepiawaian kalian dalam mengolah kalimat-kalimat efektif diuji.

Selagi meminimalisasi adegan, kalian bisa memasukkan latar dan keterangan lebih baik. Memotong adegan dan dialog yang tidak perlu bisa turut dilakukan sekalian.

2. Gunakan Panca Indera + Perasaan

Sekali lagi saya tekankan, buatlah tokoh kalian sehidup mungkin. Berikan dia perasaan, panca indera, dsb. Kalau dia difabel atau kehilangan salah satu indera, buat inderanya yang lain lebih dominan sehingga kita bisa melihat latar melalui kacamatanya. Bisa merasakan dunia di dalam buku lewat perspektif para tokoh kita. 

Jangan lupakan bahwa tokoh-tokoh kalian juga memiliki perasaan dan emosi. Tunjukkan kompas moral mereka, perasaan mereka terhadap latar tempat mereka berada. Jika hujan, bagaimana perasaan mereka. Jika tanah becek dan bau, bagaimana mereka menahan diri. Jika mereka kesakitan karena lingkungan yang tidak ramah, jabarkan ketidak ramahan lingkungan itu dan dampaknya kepada mereka. Ada banyak cara, manfaatkan seefektif dan efisien.

3. Pakai Kerangka dan Coret-coretan

Ini sebenernya saran yang udah sering banget dibilangin sama para mentor kepenulisan. Buat kerangka, buat catatan, buat denah, buat segala macamnya yang berkaitan dengan latar cerita kalian. Tidak perlu bagus, tidak perlu rapih, jika memang hanya untuk kalian sendiri. Jika kalian ingin memasukkannya dalam visi yang lebih sempurna, bisa minta bantuan tenaga profesional untuk bikin ilustrasi latar cerita kalian supaya lebih hidup. Yakin, deh, ada banyak ilustrasi bagus di luar sana yang bisa dimiringin dikit harganya, selama bukan untuk tujuan komersil.

Ini juga membantu kalian nggak lupa posisi tokoh kalian. Jangan di bab 1 tokoh kalian ada di utara, lalu tiba-tiba, nggak ada perpindahan atau apa pun, di bab 2, tokoh kalian pindah ke timur.

-

Seiring semakin banyaknya tren novel dengan ilustrasi, latar sering kali disepelekan karena dianggap sudah dapat diwakilkan dengan gambar yang menyertai novel. Tapi jika tidak ada gambar itu, pembaca dan ilustrator kalian, terutama, mau dijejalin apa? 

Semoga pembahasan soal White Room Syndrome ini membantu dan semoga jumlah orang yang terjangkit sindrom ini bisa berkurang. 

-

Mungkin next time kita akan bahas ending. 

Gimana menurut kalian? Jenis-jenis ending apa yang bikin kalian bete atau puas?






JURNAL KREATIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang