Yang pemimpin acara mengatakan beberapa hal, dilanjutkan dengan ucapan janji oleh Aria. Kemudian, saat giliran Neida tiba, Arash berdiri sambil berseru, "Berhenti!"

Semua mata tertuju padanya dengan tatapan bingung. Neida dan Aria tidak kalah terkejutnya. Sambil mengatur napasnya, Arash menegakkan punggung, mengangkat kepalanya dengan berani dan berkata, "Aku tidak menyetujui pernikahan ini."

Tamu undangan menampilkan reaksi yang sama. Terkejut. Neida mendelik kesal pada Arash yang menatap sendu pada sang ibu.

"Ibu ... maaf." Gumam Arash sangat pelan, hanya terlihat gerakan bibirnya saja. Lalu, dengan langkah cepat ia berjalan keluar dari venue pernikahan. Tidak memedulikan panggilan Neida untuknya, Arash terus melangkah, karena ia yakin sekali bahwa ia tidak seharusnya berada di tempat ini. Berada dalam situasi ini.

***

Jun berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Ryo. Kemoterapi harus dilakukan sejak seminggu yang lalu. Beberapa hari tampak lancar-lancar saja, tapi hari ini terasa sedikit berbeda. Efek dari kemoterapi membuat Jun sakit kepala. Hari ini, Ryo muntah tepat setelah menyelesaikan kemoterapinya. Saat beristirahat di kamar rawat, tubuh Ryo panas dan ia mulai kejang. Tidak boleh ada yang masuk ke dalam kamar rawat sampai tindakan medis selesai dilakukan.

"Jio, bagaimana?" serang Jun saat Jio keluar dari ruangan Ryo. Jio hanya menjawab dengan senyum dan isyarat mata yang mengajak Jun untuk mengikutinya ke ruang dokter.

Sementara Maria langsung masuk ke ruang rawat saat Jio sudah memperbolehkan. Didekatinya Ryo yang masih dalam keadaan lemah, dengan wajah pucat dan peluh yang masih mengalir. Maria menyeka air yang membasahi sudut matanya. Ia mengusap pelan dahi Ryo sambil meniti wajah indah sang cucu.

"Cucu kesayangan Nenek. Kenapa Ryo harus kesakitan seperti ini? Bolehkah sakitnya Nenek saja yang ambil?" lirih Maria sambil mengecup puncak kepala Ryo. Bukannya Ryo tidak mendengar, hanya saja remaja itu terlalu lemas hingga untuk mengeluarkan rintihan saja tidak sanggup. Ia bahkan tidak bisa membuka mata, meski ia tak ingin terlelap. Ryo hanya bisa merasakan sentuhan sang nenek yang terus menenangkan.

"Ryo harus kuat ya. Untuk ayah, untuk Nenek, dan juga Yuan. Semua sayang Ryo. Jadi, Ryo harus terus semangat ya." Bisik Maria dengan mata berkaca-kaca. Ryo mengernyitkan dahi. Ingin sekali ia berteriak, mengiyakan perkataan sang nenek. Namun apa daya, kelopak matanya terasa berat. Belaian Maria membuat Ryo merasa semakin lama semakin tenang, hingga kerutan di dahinya semakin menghilang dan Ryo bisa terlelap.

Beberapa jam kemudian, Ryo bangun dengan kepala yang terasa berputar. Yuan yang tadinya membaca buku, buru-buru menutup bukunya dan mendekati ranjang Ryo. "Akhirnya bangun juga. Mau makan? Aku pesan ya." Tukas Yuan sambil mengambil ponsel di atas meja.

"Tidak lapar, Yuan." Sahutnya dengan suara serak. Yuan mengangguk, tapi jarinya tetap bergerak, memesan makanan lewat aplikasi. Ia harus tetap menyiapkan makanan dan memaksa Ryo makan tanpa perlu persetujuan.

"Yuan, tadi aku kenapa ya?" tanya Ryo dengan mata menerawang ke langit-langit ruangan.

Yuan menghela napas panjang sambil memijat pelan lengan sang kekasih. "Demam, lalu kejang. Kau sempat bangun, tapi muntah-muntah. Ingat tidak?"

Ryo mengangguk samar sambil menelan ludah dengan susah payah. "Aku ingat tadi ada nenek juga di sini. Aku mendengar suaranya. Ke mana nenek sekarang?"

"Pulang ke rumah. Dia harus ganti baju dan beristirahat. Kurasa nenekmu sedikit kelelahan. Tadi hampir pingsan saat aku datang, sepertinya kurang tidur."

"Oh ..." Ryo mengangguk samar, lalu menghela napas panjang. "Aku ini memang menyusahkan ya, Yuan."

"Jangan bilang begitu, Ryo." Sahut Yuan santai sambil mengambil air dari dispenser dan menyiapkan hal lain untuk memberikan Ryo makan nanti.

SourireWhere stories live. Discover now