"Serius, Ni?" Renata masih seolah tidak percaya.

"Serius banget, Ren..."

"Kayaknya waktu gue ketemu di mall sama Pak Renja, gue liat dia nyamperin cewek"

Nia tampak diam berpikir, "Mungkin Bu Adelia"

"Dan Bu Adelia adalah...?" 

"Adiknya Pak Renjaka"

Renata membulatkan mulutnya kemudian mengangguk-anggukan kepalanya, "Ni, berarti Pak Rendra duda dong?" tanya Renata dengan suara kecil sambil memandang Rendra yang sedang makan siang dibantu dengan perawatnya di sofa tamu dekat mereka.

Nia mengangguk pelan, "Bahkan Rendra gak sempet ketemu Ibu nya setelah dia lahir" 

Renata menatap bocah laki-laki yang sedang makan sambil menonton tayangan youtube dari layar iPad di meja depannya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Antara iba karena anak sekecil itu tidak bisa mendapatkan kasih sayang seorang Ibu dan juga tatapan sayang karena Ia jadi mengingat keponakan laki-lakinya yang berusia tidak jauh dari Rendra yang merupakan anak dari kakaknya. 

Nia kemudian berbisik pelan, "Bos lo itu duda, hati-hati ya"

Renata menoleh cepat kepada Nia dengan tatapan bingung, "Kenapa hati-hati?"

Nia tersenyum jahil menatap Renata, "Hati-hati naksir" 

Renata menatap Nia dengan tatapan terkejut, tidak menyangka godaan itu akan keluar dari mulut Nia, "Gimana bisa naksir, tiap ketemu gue diomelin mulu"

"Ngomel biasanya tanda sayang, Ren"

"Ngaco!" kemudian mereka berdua tergelak karena obrolan random mereka 

***

Renjaka sedang berjalan di lorong menuju ruangannya dengan Hani di sebelahnya yang sedang menjelaskan beberapa hal sambil membolak-balik kertas di tangannya. Ketika hampir sampai, Renjaka memelankan langkahnya ketika melihat pandangan di depannya. Seorang wanita yang sedang berdiri sambil menggendong seorang anak laki-laki yang sepertinya tertidur dalam pelukannya. Renjaka masih terus berjalan pelan dan tidak mendengarkan penjelasan Hani, ketika akhirnya disadarkan saat Hani memukul pelan pundak Renja.

"Heh, woy, malah bengong. Ini jadinya kandidat..." Hani tiba-tiba ikut memelankan langkahnya ketika melihat arah pandangan Renjaka yang masih menatap lurus ke depannya. Di sana, berdiri Renata yang sedang menggendong Rendra sambil menggoyangkan badannya ke kiri dan ke kanan seolah sedang menenangkan Rendra dalam tidurnya. Renata berdiri sambil menatap jendela kaca di depannya yang menampakkan suasana jalan raya di depan kantor mereka. 

Hani mengalihkan tatapannya kepada Renjaka kemudian kembali melihat Renata, beberapa kali seperti itu sampai mereka tiba di depan pintu ruangan Renjaka. Renjaka yang sepertinya tidak akan mengeluarkan suaranya karena masih terus memperhatikan apa yang terjadi di depan matanya, membuat Hani yang kemudian membuka suaranya, "Renata..."

Renata melihat Hani dan Renjaka yang berdiri di depan mejanya kemudian berjalan menuju kursinya sambil masih terus menggendong Rendra yang masih terlelap di pelukannya, "Selamat sore, Bu Hani, Pak Renja"

Renata menangkap pandangan Renjaka yang melihat putra nya yang tidur dalam gendongan Renata, kemudian Ia buru-buru membuka suara untuk menjelaskan, "Rendra tadi tidur di sofa depan, Pak, tapi lalu kebangun dan nangis, makanya saya gendong supaya bisa tidur lagi, karena susternya sedang membersihkan alat makan siangnya tadi di pantry" Renata mengelus pelan punggung Rendra di gendongannya.

Hani yang kemudian menanggapi penjelasan Renata yang tampak salah tingkah karena Renjaka tidak juga membuka suaranya dan hanya memperhatikan mereka. Hani mengelus pelan kepala Rendra, "Makasih ya, Ren, udah bantuin jaga Rendra"

Renata tersenyum, "Sama-sama, Bu"

Tidak beberapa lama suster perawat Rendra sudah kembali kemudian melihat Rendra yang berada dalam gendongan Renata, buru-buru Ia berjalan ingin mengambil Rendra dari gendongan Renata. Namun saat akan menggendong Rendra, anak itu tampak menggeliat pelan lalu kembali menangis kecil dan enggan melepaskan pelukannya dari Renata. Renata tampak salah tingkah melihat Rendra sepert itu kemudian berkata lagi, "Biarin aja, Mbak, biar sama aku dulu, mumpung lagi nyaman. Badannya agak anget sekarang ini, mungkin efek vaksinnya" Renata lalu beralih menatap Renjaka, "Biar saya gendong dulu saja, Pak"

Renjaka mengangguk kecil, kemudian Hani yang kembali membuka suara melihat partner kerja sekaligus sahabatnya ini masih saja diam, "Gak apa-apa kamu gendong dulu, Ren? Berat, nggak?"

"Gak apa, Bu. Masih kuat" Renata meringis kecil.

Hani ikut tertawa kemudian mengangguk, "Nia kemana ya?"

"Lagi ke toilet sebentar, Bu"

"Nanti minta masuk ke dalam buat ikut saya rapat sebentar sama Renja ya"

"Baik, Bu"

Hani menepuk pelan pundak Renjaka kemudian menunjuk ruangannya dengan kepalanya ketika Renja hanya menatapnya dengan pandangan bingung. 

"Saya titip Rendra sebentar" akhirnya Renjaka berhasil mengeluarkan suaranya. Setelah melihat Renata mengangguk, Ia lalu masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Hani. 

Begitu sampai di dalam ruangannya, Renjaka yang sudah duduk di kursinya kemudian mengangkat kepalanya menatap Hani setelah wanita itu mengeluarkan suaranya, "Jadi begitu, ya, viewnya kalau Rendra lagi digendong sama Mama nya, Ja"

"Han.." Renjaka membuka suaranya pelan. 

"Sorry, sorry, Ja. Bukan maksud gue. Tapi sesaat tadi gue bener-bener anggep kalo Rendra lagi digendong sama Nina" Hani tampak menerawang mengingat pemandangan Renata saat menggendong Rendra tadi. 

Renjaka mendesahkan nafasnya pelan. Ia juga memikirkan hal yang sama dengan Hani saat melihat hal itu tadi. Itulah yang membuat tiba-tiba saja pikirannya terasa kosong, yang ada hanyalah Nina, istri tercintanya, yang sedang menggendong putra mereka. Betapa hal itu merupakan hal yang menjadi harapan yang bisa Rendra lihat sejak kelahiran Rendra. Dan sekarang harapannya terwujud. Walaupun Ia harus kembali disadarkan kenyataan bahwa wanita itu adalah Renata, bukan Nina. 

Renjaka meletakkan kepalanya diatas kedua tangannya yang berada di atas mejanya. Hani yang melihat sikap Renjaka seperti itu hanya bisa menghela nafasnya pelan. Tidak tahu harus berkata apa menanggapi sikap Renjaka. Sedikit banyak Ia bisa memahami perasaan Renjaka, melihat Renata yang begitu mirip dengan Nina sedang memeluk putranya. Pasti bukan hal yang mudah untuk Renjaka karena kembali teringat pada mendiang istrinya. 

Tidak beberapa lama pintu ruangan Renjaka diketuk, kemudian masuklah Nia dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Hani menghembuskan nafas sedikit kencang untuk kembali merubah suasana ruangan ini menjadi profesional, karena mereka sedang berada pada jam kerja.

Hani menepuk pelan tangan Renja, "Oke, Ja, fokus. Bisa ya?"

Renjaka menyugar rambutnya sekali kemudian mengangguk, "Oke, mulai aja, Han"

Mereka kemudian kembali berbicara dan berdiskusi mengenai hal yang tadi mereka bicarakan dan mengacuhkan sesaat pikiran mereka masing-masing tentang hal lainnya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. 



Never Been Easy [Completed]Where stories live. Discover now