62. Next School?

4K 668 435
                                    

"Papa tepet mandi. Toalnya adi Papa abis nablak ambing, lho."

"Kambing?"

"Iya, Mama!" Viora semakin gencar, mengadukan sang papa pada pawangnya. "Acian, ambingnya ampe pinsan."

"Kenapa bisa gitu?"

"Toalnya—"

"Nggak ada apa-apa, kok, Babe. Nggak ada apa-apa, hehe." Araka menyengir damai. Berhasil membekap mulut putrinya yang bocor tak tahu sikon.

Ranaya duduk di pinggir tempat tidur, menyuruh Viora mendekat untuk membantunya melepas pakaian sebelum mandi.

"Mama, anti angan bobok ama Papa."

"Kenapa?" Bukan Ranaya, Araka yang bertanya seperti itu. Istrinya sibuk melepas baju Viora satu-persatu.

"Papa pasti bauk!"

"Papa bau juga gara-gara kamu!"

Viora menaikan sudut bibirnya dengan sinis. Entah dia belajar dari mana.

Ranaya membungkus tubuh setengah telanjang putrinya dengan handuk yang gadis kecil itu bawa dari kamarnya. "Udah, sana mandi. Inget, gosok gigi dulu. Odolnya jangan dimakan lagi."

"Tapi manis. Ndak ayak Papa, asin."

"Gak boleh, Sayang." Ranaya mencubit hidung mungil putrinya dengan gemas. "Sana, nanti perkedel mangganya gak jadi kalau V gak cepet mandi."

Viora mencium pipi ibunya secepat kilat. Mengacir ke kamar mandi dengan berlari seperti pinguin, terhalang oleh handuk yang ikut melilit lututnya.

Araka sadar, semenjak putrinya pandai berbicara dia rival nomor satunya di rumah. Bagai Araka dibelah dua, dia baru tahu jika dirinya semenyebalkan itu. Pantas banyak orang darah rendah langsung sembuh karena terlalu sering ia pancing emosinya.

Araka mendekat ke arah sang istri, berlutut di depannya. Mencium perutnya yang membuncit lebih besar dari kehamilan pertama.

Saat mereka menjalani check-up bulanan di usia kehamilan Ranaya yang ke-lima, mereka akhirnya tahu jika Ranaya hamil anak kembar. Belum diketahui kembar laki-laki atau perempuan. Mereka juga kini tidak terlalu memikirkan masalah itu. Yang terpenting anak-anak mereka sehat dan bisa lebih kalem dari Viora. Itu sudah lebih dari cukup.

"Ini pipi kamu kenapa?" Ranaya menyentuh luka goresan tipis di pipi kanan suaminya. Masih memerah namun tidak berdarah, sepertinya luka baru.

"Gara-gara tadi."

"Emang tadi kenapa, sih? Kamu nabrak kambing beneran?"

"Gak begitu ceritanya." Araka melenguh, duduk bersila di lantai dan merebahkan kepalanya di paha sang istri.

Sifat manja dan mau disayangnya belum punah juga. Untung Ranaya lebih mudah disentuh dan tidak banyak protes. Jadi, jangkauan Araka lebih lebar.

Araka mengangkat kepalanya, menempelkan dagunya di paha Ranaya. "Kamu tau, Babe? Pak Yayan abis beli kambing. Gede, kayak Papa."

"Kualat kamu." Ranaya mendorong pelipis Araka setelah tertawa geli. "Terus, kambingnya kenapa?"

"Kambingnya galak, hampir nyeruduk V."

Ranaya membelalak. "Terus?"

"Aku seruduk balik."

***

"Kak Aretta bikin apa?"

Mendengar namanya disebutkan, Aretta lantas menoleh, mengalihkan atensi pada gubis dan teman-temannya untuk tersenyum pada adik iparnya. "Capcay, Garda minta makan malam dibikinin ini. Green juga pengen coba katanya."

MY STARGIRLWhere stories live. Discover now