Aku dan Mas Pras sedang menikmati malam di salah satu sudut restoran yang konon katanya adalah tempat favoritnya kalau sedang ingin mencari suasana baru atau sekedar untuk melobi klien. Kami baru selesai nonton film The New Mutants yang baru rilis akhir Desember kemarin, film bergenre horror thriller yang mengisahkan tentang pengalaman sekelompok mutan remaja yang ditahan untuk sebuah penelitian psikiatri di suatu rumah sakit terpencil. Alih-alih akan pasrah saat kuseret dia untuk nonton Milea Extended. Mas Pras memang agak strict kalau masalah genre tontonan. Daripada cerita cinta-cintaan mas Pras justru lebih suka genre thriller atau misteri, dan dia bisa sangat keras kepala soal itu. Dan jangan berharap ada adegan romantis saat di dalam bioskop seperti cerita-cerita di novel roman, mas Pras sudah seperti patung yang hanya fokus menikmati jalan ceritanya saja.
Setelah nonton kami berkeliling sebentar, menghabiskan waktu berdua yang biasa orang-orang sebut dengan kencan. Aku bahkan tidak tau seperti apa itu defenisi kencan kalau jalan berdua dengan mas Pras, tapi apa itu membuatku bosan? Hmm tidak juga sebenarnya. Berjalan bersisian menyusuri jajaran pertokoan dan menikmati wajahnya yang berbinar antusias saat mengulas kembali apa yang baru saja dia tonton sudah jauh dari kata cukup untukku.
"Anin mau makan apa? Nin..?" Mas Pras menyentuh telapak tanganku yang terlipat di atas meja, membuatku tersentak.
"Hah? Gimana Mas?"
"Kamu melamun?"
Ah benar, ternyata sejak tadi aku hanya terpaku mengamati wajahnya yang tampak serius membolak-balik buku menu.
"Enggak kok Mas."
Mas Pras berdeca. "Yaudah kamu mau makan apa? Buruan, kasihan Mbaknya udah lama nunggu."
"Terserah Mas Pras aja." Aku tersenyum.
Mas Pras menggelengkan kepalanya tak percaya, lalu mengembalikan buku menu kepada waitress yang sedang senyam senyum sendiri entah menertawakan apa.
"Kenapa percaya banget Mas bakal pilih menu yang kamu suka? Kalau ternyata Mas pilih menu yang paling nggak bisa kamu telan gimana?" Ia menatapku serius dengan kedua lengannya yang terlipat di atas meja.
"Mas Pras tau Anin sebaik itu, jadi nggak mungkin Mas bakal pesan menu yang ada jamurnya. Kecuali Mas Pras memang mau Anin masuk UGD."
Mas Pras malah terkekeh. "Iya yah. I know you so well sampai isi kepala kamu sekarang aja Mas bisa tau."
Aku memandangnya tertarik. "Oh ya? Memangnya apa yang ada dalam kepala Anin sekarang?"
Ia mencondongkan badannya ke arahku, ruang kosong diantara kami hanya tersisa sejengkal saja, cukup untukku bisa menatap lekat bola matanya, merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Dadaku berdesir saat matanya justru menatap bibirku lama lalu kembali menatap ke dalam netraku.
"Kamu...mikirin Mas kan?"
Ya nggak salah sih, tapi kok kesel ya dengar itu langsung dari mulutnya.
Aku tersenyum geli. "Narsis banget sih kamu Mas."
Dia sudah menegakkan duduknya. "Memangnya enggak?" Dahinya berkerut dalam. Aku hanya mengedikkan bahu.
Pesanan kami datang, sepiring lemon butter salmon grill dan swedish meatball dengan kentang panggang sudah tersaji di atas meja. Setelah kami mengucapkan terimakasih, sang waiters yang kali ini adalah seorang pria undur diri.
"Memangnya enggak Nin?"
Ia mengulangi pertanyaannya. Ya ampun maksa banget pengen dipikirin.
Kuhembuskan nafasku pelan. "Harus banget diperjelas Mas? Kamu udah liat sejelas itu loh, so ya i thought it was just you." Bulan sabit dibibirnya terbit, sangat cantik.
Mas Pras menangkup jemariku di atas meja lalu mengecupnya dengan sangat manis, selamat tinggal jiwaku yang sudah terbang sampai ke nirwana. "I'm your's." Bisiknya tepat di depan jemariku.
Kayaknya besok aku perlu cek kadar gula darah deh, takut diabetes terus-terusan diperlakukan semanis ini. Bibirku tentu saja tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum. "I know Mas."
"Dan...Anin nggak mau kejadian Nadin terulang lagi. Apalagi sampai ada Nadin Nadin yang lain."
"I'm so regret, tapi kamu bisa pegang janji Mas. Nggak akan pernah ada Nadin Nadin yang lain." Sorot matanya meyakinkanku, seolah hanya ada aku saja disana dan tak ada lagi ruang untuk yang lain. Semoga benar begitu.
Kami sedang berjalan-jalan tanpa tujuan mengelilingi mall yang malam ini juga sangat ramai, dengan genggaman yang saling bertaut dan senyum yang masih belum mau memudar. Dering handphone mas Pras berbunyi, kami berhenti. tangan kirinya yang bebas segera mengeluarkan benda hitam itu dari balik saku jasnya, lalu menggeser tombol hijau.
"Ya, hallo." Sapa mas Pras dengan seseorang dibalik telepon. Entah apa dan siapa yang menelfon itu tapi seketika raut wajah mas Pras langsung berubah panik.
"Oke. sekarang dengerin aku ya, kamu tenang aku akan kesana sekarang juga." Mas Pras memutuskan panggilan dengan tergesa.
"Mas ada apa?"
"Anin, Mas harus susul Danti. Kamu pulang sendiri nggak papa kan?"
"Anin ikut Mas."
"Enggak. Kamu pulang sekarang."
"Enggak Mas. Anin ikut, Anin juga khawatir."
Mas Pras menatapku frustrasi. Kemudian tanpa perdebatan lagi ia beranjak dengan tergesa-gesa, bahkan tanpa sadar dia sudah menghempaskan genggaman tanganku. Kutatapi tanganku yang kini terasa kosong, kenapa rasanya begitu hampa.
Aku sudah duduk di sebelah mas Pras yang sedang fokus membelah jalanan malam yang masih saja padat merayap, tidak ada lagi suara diantara kami berdua kecuali umpatan kesalnya ketika kendaraan di depan berjalan lambat atau saat gagal menyalib atau sebenarnya mas Pras yang memang sedang kehilangan kesabarannya. Beberapa kali ia memukul stir di genggamannya ketika lagi-lagi terjebak kemacetan.
Lima belas menit kemudian kepadatan lalulintas sudah kembali lancar, mobil-mobil yang tadi juga terjebak kemacetan sudah melaju dengan santai, kecuali mobil kami yang seolah sedang melaju di sirkuit formula one. Meminta mas Pras untuk lebih pelan sama saja seperti menabrakan diri ke gunung es dengan sengaja, jadi aku hanya bungkam dan berpegangan erat sambil menutup mataku rapat-rapat.
Saat mas Pras mengatakan akan menyusul mbak Danti sebenarnya aku sama sekali tidak tau menyusul kemana maksudnya, tapi ternyata mobil kami berhenti di basement apartment The Wahid Private Residence. Aku nggak tau kenapa kesini tapi aku hanya mengikuti langkah kaki mas Pras yang sudah seperti pelari maraton Boston di depanku, entah dia lupa atau tidak sadar kalau datang kesini bersamaku.
Langkah kaki kami berhenti di salah satu unit di lantai empat, mas Pras segera memasukkan akses untuk membuka pintu. Tunggu dulu, kenapa mas Pras bisa punya kunci aksesnya? Tepat setelah pintu unit terbuka, kami segera disambut oleh kegelapan dari seluruh penjuru ruangan. Mas Pras meringsek masuk dan membuka satu persatu pintu yang tertutup. "Danti, kamu dimana."
Aku masih mengikutinya dari belakang sambil menghidupan lampu satu persatu. Langkah mas Pras terhenti tepat di ambang pintu bathroom di kamar tidur utama. "Danti !! Astaga, kamu kenapa." Suara teriakan mas Pras menghentikan langkahku untuk semakin mendekat.
Mbak Danti dengan tubuh yang basah kuyup meringkuk di dalam bathtub, tangannya memeluk tubuhnya yang bergetar hebat, sesekali terdengar suara rintihannya yang sangat pilu di telinga. Ia mengangkat wajahnya tatkala mas Pras sudah berlutut di hadapannya.
"Mas aku takut." Kulihat mas Pras segera mendekapnya erat, menenangkan istrinya yang ternyata sedang mengalami panic attack. Nuraniku menyuruh untuk ikut mendekat namun logika menghentikan langkahku. Mbak Danti menangis tersedu-sedu di dalam pelukan mas Pras, tak terasa air mataku pun ikut berjatuhan melihat sendiri kondisi mbak Danti yang sangat menyedihkan.
"It's okay, aku udah di sini sekarang."
"Jangan tinggalin aku Mas, aku takut." Suara Mbak Danti terdengar memohon.
"Aku disini, aku nggak akan tinggalin kamu." Ucap Mas Pras lagi.
Entah kenapa kata-kata itu justru seperti tamparan untukku, kalimat yang menegaskan bahwa mas Pras memang tidak pernah menjadi milikku. Ibu benar, tempatku memang bukan disini. Bukan di rumah ataupun di hati mas Pras, jelas sudah ada wanita yang lebih berhak atas dirinya. Dan akan semakin salah jika aku tetap keras kepala mempertahankan sesuatu yang bahkan tidak pernah menjadi milikku.
Kulangkahkan kakiku keluar unit itu, lagipula mas Pras juga tidak akan sadar mau aku ada disitu ataupun tidak. Aku jadi berpikir, apa dia juga akan jadi segila itu dijalanan kalau aku yang ada diposisi Mbak Danti. Aku tau aku salah, aku tau seharusnya aku tidak boleh berpikir seperti itu disaat seperti ini. Bohong jika kukatakan aku baik-baik saja, i’m wrecked actually. Seharusnya aku tidak pernah membiarkan hatiku berharap pada sesuatu yang sudah jelas akhirnya. Tidak ada masa depan untukku dan mas Pras akhirnya, dan itu adalah kenyataan yang harus kuterima, suka ataupun tidak.
YOU ARE READING
SIMULAKRA [Completed]
ChickLitBisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut masa lalu yang saling berkelindan dengan masa depan. Bagi seorang Dahayu Anindyaswari Sumarsono, pel...
![SIMULAKRA [Completed]](https://img.wattpad.com/cover/254216477-64-k214680.jpg)