"Kak, apa kau kecewa padaku dan ibu?"

Ryo berdecih. "Siapa ibu? Ibumu?"

"Ibu kita, Kak." Sahut Arash, menautkan alis. "Kau dan aku adalah kakak-adik. Ibuku adalah ibumu juga, iya kan?"

Ryo tertawa remeh. "Siapa yang rela pergi begitu saja meninggalkan suami dan anaknya, lalu hidup tanpa memikirkan anaknya yang mungkin akan mati besok?"

Arash tidak sanggup mendengar perkataan Ryo yang terdengar pedas karena suara Ryo yang mengintimidasi. Remaja itu berpejam. Percuma saja mencoba menulikan telinga.

"Ibumu. Bukan ibuku." Tegas Ryo sekali lagi, lalu ia mengalihkan pandangan ke jendela. "Aku percaya bahwa ibu dan adikku selalu melihatku dari langit. Mengawasi dan tersenyum padaku setiap kali aku menatap bintang-bintang ... " Ryo kembali memandang Arash. " ...dan aku akan terus memercayai hal itu."

Arash memberanikan diri untuk menyentuh lengan Ryo. Dingin. Lengan Ryo dingin dan itu membuat hati Arash terasa perih karena membayangkan kesakitan sang kakak. "Kak, kumohon. Maafkan aku."

"Untuk apa kau minta maaf? Kau yang bersalah? Kau yang meninggalkan kami?"

Arash menggeleng sambil menggigit bibir. "Aku meminta maaf, Kak. Mewakili ibu, aku meminta maaf padamu." Tuturnya sambil menunduk, tapi kemudian ia mengangkat kepalanya kembali.

"Paman Jun ... tidak ... ayah. Ayah datang dan mengatakan bahwa aku dilahirkan untuk menyelamatkanmu. Berarti, seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untukmu."

"Ayah bohong. Ayah paling suka berbohong. Kau tidak usah percaya. Lebih baik, kau pulang saja. Jangan datang lagi. Jangan menemuiku lagi. Anggap saja kau tidak memiliki seorang kakak. Aku juga tidak akan menganggap aku memiliki seorang adik. Lagipula, ibumu tidak suka padaku."

"Ibumu juga, Kak." Sanggah Arash.

"Tidak!" bentak Ryo, membuat Arash sedikit tersentak. "Kalau ibumu adalah ibuku, kenapa dia tega menampar ayah waktu itu? Kau bisa jawab?"

Arash bungkam. Matanya terpaku pada selimut yang menutupi kaki Ryo. Sedangkan Ryo menatap kesal pada Arash. "Kenapa dia tidak langsung memelukku saat kita bertemu? Kenapa dia malah menyakiti ayah?" Ryo kembali meluapkan emosinya.

Atlet favorit Arash itu menghela napas panjang. Ia mencoba mengendalikan diri untuk tidak terlalu memecahkan emosi. Ia tahu kondisinya saat ini. "Ayah berbohong, Arash. Ayah paling pandai berbohong. Buktinya, dia bisa menyimpan rahasia tentang kita selama bertahun-tahun. Bahkan saat kita dipertemukan, ayah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ayah hebat sekali, iya kan? Kau masih mau memercayainya?" tantang Ryo.

Arash tidak berani menjawab sama sekali. Bahkan sebelum mengetahui bahwa Ryo adalah kakaknya pun, Arash sudah benar-benar menghormati Ryo sebagai idola. Ada rasa bahagia saat mengetahui kenyataan bahwa atlet yang ia idolakan adalah kakak kandungnya. Namun rasa bahagia itu tergeser oleh rasa bersalah dan sedih karena sang kakak tidak menerimanya.

"Sudahlah, Arash. Aku tidak membutuhkan siapa pun. Aku bisa berjuang sendiri. Tanpa perlu kau atau ..." Ryo membasahi bibir keringnya. " ... ibu."

"Kak, aku ada untuk membantumu. Aku dilahirkan untuk itu, iya kan?"

"Tidak!" seru Ryo. Suara paraunya tetap terdengar lantang. Membuat Yuan yang sejak tadi menunggu di kursi tunggu di depan kamar bergegas masuk ke kamar rawat. Ia berdiri di depan pintu, segan untuk mendekat karena sepertinya Arash dan Ryo sedang berada dalam situasi yang kurang baik.

"Aku bilang, tidak. Bisa kau keluar sekarang?" Ryo mengangkat tangannya, mengarahkannya ke pintu. Ia benar-benar mengusir Arash.

Arash berdiri, masih berusaha untuk memohon. "Kak, dengarkan aku dulu ..."

"Keluar!" teriak Ryo lebih kencang. Yuan berlari mendekati Ryo yang terengah-engah karena menahan emosi. Matanya sudah berair. Melihat Arash yang masih betah berdiri di hadapannya, ia mengambil buku yang ada di atas nakas dan melemparnya ke arah Arash.

"Ryo! Jangan begitu!" bentak Yuan sambil menarik lengan Ryo. Kekasihnya itu melepas tangis sambil berontak. Ia mencari-cari benda untuk dilempar lagi dan berhasil menangkap gelas. Ia melemparnya tepat kea rah Arash, tapi karena Yuan sempat menahan tangan Ryo, gelas itu tidak sampai pada Arash, meski tetap terjatuh dan pecah tak jauh dari tempat Arash berdiri.

Air mata Arash mengalir. Ia tidak menyangka sang kakak akan sekecewa ini. Ia benar-benar gundah dan bingung. Melihat Ryo yang mengamuk membuatnya kacau.

Yuan menekan tombol emergency, lalu memeluk Ryo yang berusaha mencari benda lain. Yuan mendekap kepala Ryo. Sementara Ryo menangis sejadi-jadinya di pelukan Yuan. "Suruh dia pergi, Yuan. Aku tidak mau melihatnya di sini." Tutur Ryo dalam tangisnya.

"Shh ... shh... iya, aku tahu. Tenang dulu." Bisik Yuan sambil menepuk pelan bahu Ryo. Yuan pun menoleh pada Arash, lalu tanpa suara, ia memberikan tatapan penuh arti. Meminta Arash untuk pergi sebelum kehadirannya semakin memperburuk keadaan Ryo.

Dengan langkah yang berat, Arash pun pergi. Meninggalkan kamar rawat Ryo dengan pikiran yang berkecamuk. 

to be continued 

[Sourire]

Love

Wella

7 Maret 2021

Repost

30 Juli 2021

SourireWhere stories live. Discover now