Tak berarti Aben yang mesti jadi penyelamatnya. Sekarang, jika dia bertemu Aben, bertemu saja, dia pasti bisa mengeluarkan perasannya dari sana. Tak mesti Aben yang membebaskannya. Namun, sialnya hanya dengan Aben dia bisa keluar dari sana.

Semua yang terasa sangat sakit rupanya bisa jadi lebih menyakitkan karena dirinya sendiri, Dyta tak pernah tahu itu. Dia menyakiti dirinya sendiri, dan dia baru sadar rasa itu. Karena yang lebih mencintai akan lebih sakit. Dia harus bertemu Aben untuk mengaku.

Bagaimanapun, mereka sudah mengingatkan Dyta: sebelum Aben lelah, sebelum Aben berhenti. Sekarang, yang Dyta punya hanyalah pengakuan. Atau boleh juga sedikit pemaksaan. Dia belum bisa tanpa Aben. Dia belum siap kalau Aben jalan sama cewek baru. Dia mau sama Aben dulu.

"Mbak Dyta, ada apa?"

"Aben belum pulang, Bi?" tanya Dyta, menggigit bibir bawahnya.

Bibi menggeleng "Iya nih Mbak, bapak sama Ibu hari ini rencananya mau balik, tapi Mas Aben nggak pulang-pulang. Ntar dimarahin sama Bapak baru tahu rasa!"

Dyta menghela nafas "Bibi nggak tahu dia kemana? Apa dia bilang dia mau naik gunung?"

"Lha, bibi nggak tahu, Mbak. Tapi, dia bawa tas gede waktu itu. Tanya Mas Jay deh, dia juga kemari."

"Um, apa aku boleh ke kamar Aben sebentar? Ada yang harus aku ambil, Bi!" dustanya.

Bibi keluarga Aben itu tersenyum, lalu membuka daun pintu lebih lebar. Menyuruh Dyta masuk dan langsung naik menuju kamar Aben.

Aben lebih mencintai mobil daripada naik gunung. Lebih suka dunia otomotif dibanding kegiatan pecinta alam atau akademik di kampusnya. Dia milih ninggalin Dyta pada malam minggu hanya untuk ikut pameran otomotif sama kelompoknya. Atau, dia akan lebih suka Dyta memuji betapa keren mobil Aben daripada yang punya.

Kamar Aben masih sama seperti yang pernah Dyta ingat. Simpel dan komplit. Anak sulung dari dua bersaudara ini mendapatkan hampir semua yang dia mau dari orang tuanya atau atas hasil jerih payahnya sendiri. Tempat tidur ditinggal begitu rapi, tanda benda itu tidak pernah ditempati untuk beberapa hari ini.

Dyta duduk di pinggirnya dan memperhatikan kamar Aben. Menjalankan pandangannya pada satu-satunya foto yang ada di samping tempat tidurnya. Foto yang sama yang juga satu-satunya ditaruh Dyta di kamarnya. Dia dan Aben.

"Bodoh!" umat Dyta pada dirinya sendiri. "Kamu harusnya disini aja!"

Dyta bangkit berjalan mendekati foto itu. Mengambilnya dan tersenyum sendiri. Membalik foto itu dan sebuah tulisan ada dibaliknya.

'Thank you for coming to me, Baby -12.11.12-'

Kalau saja Dyta tahu dia akan berakhir disini, menangisi semuanya, dia harusnya sadar dia salah tempat. Mestinya, dia tahu kalau dia ingin menumpahkan semuanya sekali lagi, bukan disini. Bukan di tempa dimana semuanya adalah Aben. Kamar Aben, barang-barang pribadinya dan bau khasnya yang masih tercium disini.

Dyta menghela nafas, menaruh foto itu kembali ke tempatnya seraya menghapus air matanya. Dia membawa dirinya berdiri dan berjalan ke dekat jendela. Memperhatikan langit yang sore yang ramah sekali. Bukankah hari yang salah untuk menangis?

Pintu kamar Aben terbuka dan Bi Sri muncul dari sana "Mbak, maaf itu apa sudah ketemu yang dicari?" tanyanya.

Dyta menghela nafas, mengusap pipinya sebelum berbalik dan menatap pembantu Aben "Ah ya," katanya menunjuk tasnya yang tergelatak di atas tempat tidur Aben "Sudah, sudah aku ambil."

"Maaf ya, soalnya Bapak sama Ibu sudah sampai di bawah," katanya.

"Mereka sudah pulang?" ulang Dyta. Dan Aben tak ada di rumah!

Tukar PacarUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum