Friendship

29 1 0
                                    

Perpecahan

Waktu kelas 10 kami belum sedekat itu dengan mereka (Eko, Rizqi ,dll). Kami hanya sekedar teman sekelas yang hanya membicarakan pelajaran, dan hanya dekat dengan sosok Eva yang mana sudah menjadi pacarku, terlalu seringnya kami Bersama membuat hubungan Eva dan grup cewenya semakin merenggang, yang tentunya itu bukan hal yang baik, sudah kubilang diriku ini benar-benar kacau, tidak ada yang bisa dibanggakan mulai dari penampilan dan materi. Kami berbagi kesedihan dan kesenangan. Cerita yang paling menyayat mungkin adalah Ketika ia bercerita tentang penyakitnya, dan ia akan operasi, ia menangis dikarenakan penyakitnya, aku pun hanya bisa melerai tangisannya dengan sebuah kata-kata yang hangat, sehangat Mentari pagi.

Tangisannya seringkali membuatku merinding, ia tetap menceritakan kemungkinan yang terjadi, melanturkan hal-hal yang tidak-tidak. Yang tentunya itu bukan hal yang baik, ku sebaik mungkin untuk membuatnya lupa. Kami video call sampai terlelap, ia selalu tertidur dengan mata sembap. Yang bisa kukatakan hanya "nanti kalo udah beres operasinya hayu kita makan seblak". Kenapa seblak karena memang itu kesukaanya.

Eva seringkali bercerita tentang grupnya kepadaku, ia mengatakan bahwa ia ga tau harus ikut mana, ia merasa bahwa dirinya tidak berhak untuk memilih karena berada di zona netral. Dan juga memang tidak ingin memilih, gossip seringkali berkata "eh, si Eva mah lebih deket sama grup ini". "eh si itu mah bucin wae". Bla bla.. Ia yang sering menceritakan hal seperti itu membuatku berfikir apakah grup cewe seperti itu?.

Puncaknya waktu itu adalah Ketika Eva dan grupnya bertengkar, mereka menangis Bersama dikarenakan kebodohan mereka sendiri pikirku, tentunya Eva menahan tangisannya sambil menuju kearahku. Ia kemudian duduk lalu menundukan kepalanya kemeja. Menangis tertatih-tatih, sampai akhirnya ia menangis ke pahaku.

"nangis aja weh, va" ucapku

"gapapa" Ucapku

Ia melanjutkan tangisannya, sampai akhirnya semua seperti tidak terjadi apa-apa. Individu yang mungil dan rentan itu seperti anak kecil yang tidak diberi permen. Grup mereka terpecah dengan Eva yang keluar. Aku turut prihatin.

Malam harinya ia terus menceritakan hal yang terjadi, mendiskuskan hal tersebut sampai larut malam. Ia mengucapkan hal-hal seperti

"pi, kalo kamu mau pergi mah sok aja", ucap Eva

"pi, maap celana kamu tadi basah hehe", ucap Eva

Ia terus melanturkan kalimat-kalimat sampai matanya terpejam dan aku mengakhiri videocallnya. Kejadian seperti itu membuat hubungan kami semakin dalam. Terkadang ucapannya itu ga pernah masuk akal. Kami sebagai individu hanya bisa tertawa jikalau mengenangnya. Merenungkan hal kedepannya Bersama. Ingin kuliah dimana, mau nikah diumur berapa. Mau kerja apa. Tapi semua itu Cuma angan yang hanya kita sendiri yang menentukan hasilnya.

Kami semua hanya bisa bermimpi setinggi langit dan jatuh sedalam-dalamnya. Eva selalu membuatkan bekal lebih agar kami bisa makan Bersama saat istirahat berlangsung, duduk kami sejak itu selalu berdua. Kami menjadi duo yang tidak bisa dipisahkan. Saling melengkapi. Pelajaran yang tidak ku bisa, terkadang ia bisa, dan sebaliknya. nilaiku tidak setinggi dia. Dia semakin terlihat bersinar. Sehingga membuatku iri. Yang mana akan berdampak pada hubungan ini, dan aku tau hal itu. Entah itu esok atau nantinya.

Teman satu sekolah

            Aku pergi ke sekolah dengan diantar oleh ayahku, sekolah yang kira-kira jaraknya 1 Km dekat rumah. Muka lesu, rambut acak-acakan, dan pandangan yang hampa. Ku berdiam diri di motor sambil melamunkan sesuatu.

"Sersan Opi, lapor diseberang sungai sana ada seseorang" ucap Sersan Erwin

"terimakasih sersan Erwan, atas laporannya. Saya yang akan memantau" Ucap Sersan Opi

Coffee's TheoryWhere stories live. Discover now