Satu

577 96 7
                                    

Jakarta, 2024

Marsal

@crunchycreeps: Typical Indog. I bet you're also useless in real life.

Kurasa inilah salah satu kenikmatan bagi pejuang kibor dalam dunia anonim. Kebebasan. Orang itu masih sempat-sempatnya melempariku satu makian lagi dalam kurang dari dua detik. Aku diam sembari menatap layar komputer, masih terkagum dengan kemampuannya mengendalikan hero Invoker dan kemampuannya mengetik cepat serta mendamprat. Aku lantas keluar dari ruang percakapan DotA usai bermain, kemudian mematikan perekam layar. Rekaman barusan tidak mungkin menjadi unggahan minggu depan. Pelanggan saluranku agak gila. Mereka menyukai jika aku bermain menjadi tukang jagal dalam tim dengan nol terbunuh dan sepuluh kill streaks, sedangkan mainku tadi sampah sekali.

Mouse dalam genggamanku mengontrol kursor yang membuka laman YouTube Analytics. Tren grafik yang muncul belakangan ini lebih sampah dari permainanku dan aku tidak akan menipu diri sendiri soal ini. Pelangganku mulai hilang. Pendapatan sampinganku berkurang. Tama bilang aku harus meluangkan waktu untuk berlatih lagi karena ini memang gim kompetitif. Jika tidak, katanya aku harus berganti haluan. Kala itu, aku menipu diri sendiri dengan pura-pura tak dengar.

Aku beranjak dari duduk untuk mematikan lampu LED ungu yang mengelilingi dinding studio. Pendar menyebar ketika lampu utama kunyalakan. Aku melangkah ke ruang tengah menuju pantri. Setelah meraih mi instan lemari atas, aku mendengar smart lock di pintu unit berbunyi. Enam nada tak beraturan dan pintu yang terbuka membuatku bingung.

Heaven tampak ruwet dengan dirinya. Tangan kirinya menggenggam gagang koper. Tubuhnya yang terbalut seragam pramugari setengah membungkuk ketika tangan kanannya mencopot tali pada heels. Kilau kulit lehernya yang telanjang menutupi kebingunganku. Percikan dengan cepat membanjiri sekujur tubuhku. Aku membiarkan Heaven begitu saja. Jika kesulitan membuatnya begitu cantik, maka aku rela sejenak tidak membantunya. Dua puluh detik tidak akan berpengaruh apa-apa. Tidak seperti main DotA.

Tatapan Heaven menghapus kesenanganku. Jika ia sudah menatapku dengan cara seperti itu, berarti aku sedang melakukan kesalahan. Aku mendekat, mengambil alih kopernya, dan meletakkannya di kamarku. Ketika aku kembali, tatapan itu tidak berubah. Pikiranku bekerja keras. Kemudian aku menemukan diriku meneguk ludah. Aku tahu ia lelah. Siapa yang tidak lelah melayani orang lain di ketinggian puluhan ribu kaki selama belasan jam?

Heaven menjatuhkan tatapannya pada dadaku. Aku mengikuti arah tatapannya dan tersadar. Dengan segera, aku kembali untuk mencomot kaus putih dan sweatpants dari lemari untuk diletakkan di meja kamar. Heaven pernah bilang ia merasa seperti pacar kasual rendah etika jika mengambil baju sendiri dari lemariku. Namun, ketika aku tanya sebaliknya—apakah kami merupakan pasangan betulan, ia buang muka sambil tersenyum pada film Disney yang kami tonton saat itu.

Kebingunganku muncul lagi. Kenapa Heaven ke sini kalau terakhir kali kami bertemu ia ngambek dan pergi?

Heaven melangkah dan hampir tiba di kamarku jika saja tidak menemukan bungkus mi instan di pantri. Ia mengulum bibir sebentar. Telunjuknya terarah pada bungkus mi instan itu, lalu terarah padaku. "So you lost a game today."

"Bukan cuma satu kali, empat kali. Sejelek itu mainku sampai dimaki Pinoy," jawabku sok malas meskipun diam-diam senang Heaven hafal jika aku masak mi instan berarti hari itu aku kalah bermain gim. "Mau yang ayam bawang atau soto?"

"I didn't ask you to make one for me, did I?"

Aku memajukan kepala sebelum bergeming. Pikiranku berusaha mengulang-ulang pertanyaanku pada Heaven, mencari letak celahnya dan aku tidak menemukannya. "Emang enggak."

"Lantas?"

"Kamu kalau laper enggak bisa ditutup-tutupin, Heav. Lagi pula, kalau tahu kamu lagi mau sesuatu, kenapa aku harus nunggu kamu minta dulu?"

Sparklers SeekerWhere stories live. Discover now