Nia tertawa lagi. Sungguh menyenangkan memiliki partner kerja yang sangat perhatian seperti Renata. Renata juga sangat cepat tanggap menangkap semua penjelasan tugas dan pekerjaan yang harus mereka lakukan sebagai sekretaris. Dalam sebulan, Renata sudah hampir menguasai dan mengerti semua bentuk pekerjaannya, apa yang harus dilakukan olehnya. 

Tapi semenjak hari pertama, keluhan Renata masih sama. Dia mengatakan bahwa Renjaka tampak sangat galak dan menjaga jarak dengannya. Renjaka tidak pernah mengajaknya bicara duluan kecuali sangat penting. Padahal biasanya Renjaka suka sesekali berbasa-basi dengan Nia. Renjaka juga jarang tersenyum apabila berbicara dengan Renata. Padahal Nia selalu bisa menangkap sorot mata yang ramah dari Renjaka setiap bosnya itu memberikan instruksi atau mendengarkannya melaporkan jadwal pertemuan yang perlu dilakukan kepadanya.

Apakah ini karena alasan wajah Renata yang mirip dengan mendiang istrinya? Saat hari pertama Renata, Nia dipanggil masuk ke dalam ruangan Renjaka. Saat itu, Renjaka memberitahunya untuk tidak pernah membahas tentang kemiripan antara Renata dan mendiang istrinya kepada Renata. 

"Renata jangan sampai tahu ya, Ni." ucap Renjaka saat itu. 

Dan Nia menyadari, Ia tidak perlu menanyakan alasan kenapa Renjaka menginstruksikan hal tersebut. Ia hanya perlu menjalankannya sesuai dengan perintah Renjaka. 

***

Menuju jam makan siang, Renata yang masih menyusun minutes of meeting di layar komputernya teralihkan dengan bunyi notifikasi pada handphonenya. Ia kemudian melirik sekilas pop up pesan yang muncul di layarnya, kemudian tersenyum.

Sultan

Aku jemput kamu makan siang bareng ya

Okay, sayang

Renata kembali meletakkan handphone nya dan menyelesaikan laporannya. Setelah selesai dan memeriksanya sekali lagi, Renata kemudian beralih ke komputer Nia yang menampilkan jadwal pekerjaan untuk Renjaka besok. Setelah memasukan serangkaian jadwal sesuai dengan catatan yang sudah dibuat Nia, Renata lalu berjalan ke arah prayer room tempat Nia beristirahat.

Renata melongok lalu melihat Nia yang sedang berbaring di sana, "Ni, gue mau makan siang ke luar ya. Lo mau titip gak?"

Nia menggeleng, "Gue bawa bekel kok. Lo sama Sultan?" Nia sudah mengetahui keberadaan Sultan sebagai kekasih Renata dari cerita wanita itu karena memang beberapa waktu Renata pergi makan siang bersama Sultan.

Renata mengangguk, "Iya. Yaudah, itu jadwalnya tadi udah gue tambahin sesuai catatan. Nanti diperiksa lagi aja ya"

"Makasih ya, Ren. Yaudah gih sana, selamat pacaran"

Renata tertawa, "Kayak anak ABG deh pacaran. Kalau butuh apa-apa mau dibeliin, kabarin ya"

Nia mengangkat jempolnya lalu melihat Renata yang berjalan meninggalkannya dengan senyum sumringah terpasang di wajahnya.

***

Di salah satu restoran, terlihat sepasang pria dan wanita yang tengah duduk menikmati makan siang mereka. Renata dan Sultan sedang makan siang sembari membicarakan berbagai hal mengenai kesibukan mereka. Sudah hampir 2 minggu belakangan ini mereka tidak sempat bertemu karena kesibukan masing-masing, ditambah dengan Renata yang juga masih harus beradaptasi dengan suasana kantor barunya. 

"Gak tau sih, aku salah apa ya, bos aku tuh masih aja jutek banget kalo ngobrol sama aku. Tapi kalo sama Nia, atau sama orang lain tuh biasa aja gitu loh, Tan" Renata kembali mengeluhkan sikap Renjaka, kali ini kepada kekasihnya.

"Hmm, kerjaan kamu ada yang salah?" tanya Sultan.

Renata menggeleng, "Gak ada kok. Dia juteknya bukan komplen gitu sih. Tapi kaya yang ngomongnya irit banget sama aku, selain soal kerjaan. Gak ada basa-basi lainnya"

"Ya mungkin emang bos kamu gak suka basa-basi"

"Tapi kalo sama Nia dia sering nanyain kabar. Gimana kehamilannya, ada siapa aja yang nyariin dia di kantor..."

Sultan sudah memotong perkataan Renata sebelum wanita itu selesai berbicara, "Kamu resign aja kalau memang gak nyaman"

Renata menghentikan suapannya, Ia kemudian menatap wajah kekasihnya itu. Tidak lama, senyumnya kembali muncul, kali ini senyum yang agak dipaksakan, "Tan, seriously, kita mau bahas hal ini lagi?"

"Ya daripad kamu kerja tapi ngeluh terus"

Renata mendengus lalu tertawa, "Aku mengeluh bukan untuk dikasih solusi untuk resign dari kantor, Tan. Kok kamu kaya gak paham aku begini sih?"

"Ren, Mama nanya ke aku lagi, kapan aku mau ngelamar kamu?" 

Renata tersentak, "Kenapa tiba-tiba jadi ngelamar?"

Sultan meletakkan sendok dan garpu di atas piring makannya, kemudian Ia menggeser piring tersebut lalu menatap Renata di depannya, "Kamu tau, aku gak pernah main-main sama hubungan kita, Ren. Tujuan aku bersama kamu itu ya menikah. Jadi gak ada yang tiba-tiba. Kamu harusnya gak kaget soal lamaran ini"

Renata mengangkat gelas minuman dan meneguk cairan yang ada di dalamnya, "Kalau syarat jadi istri kamu, masih dengan aku yang harus berhenti kerja, aku masih perlu pikir panjang, Tan"

"Sayang, pekerjaan aku sudah cukup untuk bisa menghidupi kita berdua. Kalaupun nanti ada anak-anak, aku juga masih bisa menghidup mereka. Kamu gak perlu capek-capek bekerja lagi"

"Kamu harusnya paham alasan aku bekerja, Tan."

"Aku tahu, kamu suka bekerja. Kamu juga mau selalu bisa bantuin Ibu ngurus restoran di Bandung. Itu bisa kita pikirkan bersama nanti, Ren. Tapi kamu gak perlu bekerja"

"Ibu gak akan mau ngerepotin anak-anaknya, Tan. Apalagi kalau Ibu tahu, aku gak bekerja, Ibu akan semakin menolak kalau aku bantuin kebutuhannya"

Sultan menyugar rambutnya, tampak sama lelahnya dengan Renata yang duduk di depannya apabila pembahasan seperti ini muncul di antara mereka. Permasalahan yang menjadi pembahasan yang seakan tidak menemukan ujungnya dalam hubungan 5 tahun mereka. Apalagi tujuan sepasang manusia yang memiliki perasaan kasih yang sama, apabila bukan melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Namun, ganjalan yang dihadapi hubungan Sultan dan Renata adalah persepsi Sultan bahwa istrinya haruslah menjadi ibu rumah tangga yang bisa mengurus rumah tangganya full time, namun Renata tetap ingin bekerja. Ia merasa sanggup menjadi ibu rumah tangga yang juga tetap bekerja. 

"Kalau begini terus, gak akan ada ujungnya, Ren"

Renata yang kali ini menghela napasnya berat, "Aku sudah mengalah dengan resign dari kantorku yang lama karena kamu mengeluh aku terlalu sering dinas ke luar kota. Aku cari pekerjaan yang gak perlu lagi pergi-pergi dan mengganggu waktu kita bahkan saat weekend. Tapi kenapa kamu masih mengeluhkan hal yang sama, Tan?"

"Rasanya kita gak akan pernah sependapat soal ini, Ren" Sultan menggelengkan kepalanya lalu memainkan gelas minuman di tangan kanannya.

Renata membulatkan matanya, "Maksud kamu apa?"

Sultan mengangkat pandangannya lalu menatap dalam mata Renata, "Kamu mau kita akhiri aja semuanya?"


Never Been Easy [Completed]Where stories live. Discover now